Selasa, 22 November 2011

FILSAFAT IBNU THUFAIL





Bagi para pencari kebenaran, filsafat mungkin sudah tak asing lagi. Filsafat sendiri lahir di Yunani, dan tak sedikit para filsuf Yunani yang menyumbangkan pemikirannya untuk mencari kebenaran atau sekedar upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Filsafat lahir sebagai cara berpikir yang diharapkan mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bermanfaat bagi masa yang akan datang. 
Namun demikian, sebagai seorang Muslim tidak sepatutnya hanya menerima filsafat atau pemikiran para filsuf Yunani yang nota bene adalah bukan seorang Muslim yang tentunya pemikirannya tersebut tidak berlandaskan al Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, filsuf Muslim mencoba mengislamisasi filsafat Yunani agar sesuai dengan Islam. Dan salah satu filsuf Muslim tersebut adalah Ibnu Thufail yang berupaya meyakinkan umat bahwa antara filsafat dan ilmu pengetahuan dengan agama tidak ada pertentangan.



A.     Biografi
            Nama lengkapnya yaitu Abu Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufail al-Qaisyi. Di Barat, ia lebih dikenal dengan Abubacer. [1] Dilahirkan di Wadi Asy dekat Granada pada tahun 506 H/ 1110 M dan meninggal di kota Marraqesh, Maroko pada tahun 581 H/ 1185 M. Ibnu Thufail merupakan keturunan suku Quraisy, suku Arab yang terkemuka. Ia juga mendapat fasilitas belajar yang memadai terlebih karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan hingga mengalahkan kecintaannya pada sesama manusia. Ibnu Thufail bukan hanya seorang filsuf, ia juga ahli dibidang kedokteran, kesusastraan dan matematika. Ilmu kedokteran dan filsafat, ia pelajari di Seville dan Gordova.[2]
            Ibnu Thufail menjadi dokter di kota Granada dan berulang kali menjadi penulis penguasa negerinya. Kemudian ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’qub Yusuf al Mansur, Khalifah II dari Daulat Muwahhidin. Karena itu ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan pada masa itu ia berhasil mengumpulkan orang-orang pandai di istana khalifah, diantaranya yaitu Ibnu Rusyd yang diundang untuk mengulas buku-buku karangan Aristoteles.[3]
B.     Karya
            Karena Ibnu Thufail lebih menggemari merenung daripada menulis maka hasil karyanya pun hanya sedikit yang bisa digunakan untuk generasi berikutnya. Akan tetapi dalam sebuah biografi menyebutkan bahwa Ibnu Thufail pernah menulis buku dalam beberapa bidang, diantaranya yaitu filsafat, kedokteran, fisika dan kejiwaan. Namun karangan yang sampai di tangan kita hanya Hayy Ibn Yaqzhan yang merupakan intisari pemikiran Ibnu Thufail dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Menurut Montgomery Watt, buku tersebut merupakan buku filsafat bahasa Arab yang paling menarik. Nama lengkap buku tersebut adalah Risalah hay Ibn Yaqzhan fi Asrar al Hikmah  al Masyriqiyyah. Buku karangan yang disuga hilang saat terjadi kekacauan dan peperangan di Magribi.[4]
            Risalah tersebut ditulis atas permintaan salah seorang kawannya untuk meng-intisarikan filsafat timur. Dalam kata pengantarnya Ibnu Thufail mengatakan,”Wahai saudara yang mulia, engkau meminta agar sedapat mungkin aku membuka rahasia filsafat timur yang sudah disebutkan oleh Abu ‘Ali Ibn Sina. Ketahuilah bahwa bagi orang yang menginginkan kebenaran yang tidak berisi kesamaran lagi maka ia harus mencari filsafat itu dan berusaha memilikinya.[5]
C.     Hayy Ibn Yaqzhan
Kebenaran-kebenaran yang hendak disampaikan Ibnu Thufaif disimpulkan oleh Nadzim al Jisr dalam buku Qissat al Iman, yaitu:
1.      Urutan tangga ma’rifah (pengetahuan) yang ditempuh oleh akal dimulai dari objek inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
2.      Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud tuhan yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya dan menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya itu.
3.      Akal manusia terkadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran yaitu ketika hendak menggambarkan ke-azali-an mutlak, ketidak-akhiran, zaman, qadim, hudus dll.
4.      Baik akal menguatkan qadimnya alam atau kebaharuannya tapi kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya Tuhan.
5.      Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan serta berhiaskan diri dengan keutamaan dasar akhlak tersebut, di samping menundukkan keinginan badan kepada hukum pikiran tanpa melalaikan hak badan.
6.      Apa yang diperintahkan oleh syari’at Islam dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya berupa kebenaran, kebaikan,dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik tanpa diperselisihkan lagi.
7.      Pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya, tanpa membuka kebenaran dan rahasia filsafat kepada mereka. Dan pangkal kebaikan adalah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendlaman sesuatu.[6]
Tujuan risalah tersebut ialah ingin menunjukkan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran dan kebenaran tersebut tidak bertentangan dengan agama. Sedangkan Harun Nasution menyatakan bahwa dalam risalah tersebut dijelaskan keharmonisan akal dengan wahyu. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban berterimakasih kepada-Nya tapi tidak tahu cara yang tepat untuk menyatakan terimakasih tersebut.[7]

D.    Filsafat
            Ibnu Thufail mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah memperoleh kebahagiaan dengan jalan dapat berhubungan dengan akal-faal melalui akal (pemikiran). Ada dua jalan untuk memperoleh kebahagiaan yaitu dengan jalan tasawuf batini yang dibela oleh al Ghazali akantetapi tidak memuaskan Thufail. Kedua, melalui pemikiran dan perenungan yang ditempuh oleh al Farabi dan hendak diperjelas oleh Ibnu Thufail.[8]
a)      Filsafat dan Agama
            Menurut Ibnu Thufail, filsafat dan agama adalah selaras bahkan merupakan gambaran dari hakikat yang satu. Yang dimaksud agama di sini adalah batin dari syari’at. Karena adanya perbedaan tingkat akal antara sesama manusia sehingga tidak semua manusia dapat sampai kepada wajib al wujud dengan jalan berfilsafat.[9]
            Ibnu Thufail dalam karyanya Hayy Ibn Yaqzhan memaparkan bahwa akal “khusus” setelah melalui tahapan perkembangan akan dapat mengetahui objek kebenaran tertinggi, Allah, sama dengan yang digambarkan wahyu. Namun demikian, wahyu tetap dibutuhkan, selain untuk memberikan bimbingan kepada akal yang tidak mampu mencapai tingkat khusus tadi, juga sebagai petunjuk pelaksanaan ibadah yang tidak dapat dicapai oleh usaha akal khusus sekali pun. Karena yang memberikan cara penyembahan adalah yang disembah itu sendiri, yakni Allah dan diakui oleh Ibnu Thufail sebagai ekspresi jiwa keislamannya.[10]
b)      Metafisika
            Menurut Ibnu Thufail, pengalaman hidup dan keseriusan menggunakan akal untuk mengamati keadaan yang mengitarinya merupakan jalan yang mengantar seseorang mengetahui Tuhan. Dalil adanya Allah adalah gerakan alam. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin bergerak dengan sendirinya tanpa penggerak yang berada di luar alam dan berbeda dengan yang digerakkan. Penggerak itu adalah Allah. Pemikiran tersebut diambil dari pemikiran Aristoteles yang sudah dikenal filsuf Islam.[11]
            Tentang zat dan sifat Allah, Ibnu Thufail menyatakan bahwa Allah adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui terhadap perbuatan-Nya serta Maha Bebas dalam segala kehendak-Nya. Allah adalah Pemberi wujud kepada semua makhluk akan tetapi tak dapat dirasai dan dikhayalkan karena hal itu hanya bisa dilakukan pada hal-hal yang inderawi. Thufail juga memadukan pemikiran Plato, Aristoteles, Neo-Ploatonisme dan tasawuf bahwa Allah itu wujud semata, wajib wujud dengan zat-Nya maka yang ada hanyalah Dia. Allah menciptakan segala sesuatu karena ada guna dan manfaatnya serta mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.[12]
            Alam dan Tuhan sama-sama kekal akan tetapi perlu dibedakan antara kekekalan esensi dan waktu. Tuhan ada sebelum adanya alam dalam hal esensi, tapi tidak dalam hal waktu. Menurut Ibnu Thufail, alam tidak akan hancur seperti yang diyakini oleh kebanyakan umat akan tetapi kehancuran alam berupa keberalihan menjadi bentuk lain dan bukan merupakan kehancuran sepenuhnya. Alam terus berlangsung dalam suatu bentuk lain. Hal itu dimungkinkan karena sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan penampakan diri yang kekal.[13]
c)      Epistemologi
            Ibnu Thufail menunjukkan dua jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan yang Maha Tinggi atau Tuhan yaitu jalan wahyu dan filsafat. Pertama, ma’rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan menghayati segi batinnya dengan dzauq dan hasilnya bisa dirasakan tapi sulit dikatakan. Proses yang dilalui ini tidak mengikuti deduktif atau induktif melainkan bersifat intuitif lewat cahaya suci.[14]
            Kedua, ma’rifah melalui akal ditempuh dengan jalan keterbukaan, mengamati, meneliti, mencari, mencoba, membandingkan, mengklasifikasi, generalisasi, dan menyimpulkan. Ma’rifah ini merupakan sesuatu yang dilatih mulai dari yang konkrit kepada yang abstrak, dari khusus menuju global yang seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus.[15]
d)       Jiwa
            Ibnu Thufail membaginya menjadi tiga kategori seperti yang dikemukakan oleh al Farabi.. pertama, jiwa fadhilah yakni yang kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus mengarahkan perhatian dan renungan kepada-Nya. kedua, jiwa fasiqah yakni jiwa yang kekal dalam kesengsaraan karena pada mulany ajiwa ini mengenal Allah akan tetapi kemudian ia melupakan-Nya dengan berbuat maksiat. Ketiga, jiwa jahiliyah yakni jiwa yang musnah karena tidak pernah mengenal Allah sama sekali.[16]
            Thufail juga menawarkan amaliah yang nantinya akan menjadi cerminan keberhasilan seseorang untuk menyaksikan al wajib al wujud. Pertama, amaliah yang menyerupai hewan yaitu memelihara tubuh dan memenuhi kebutuhan pokok akan tetapi harus dibatasi seminimal mungkin agar tidak menjadi penghalang untuk meningkatkan kepada amaliah berikutnya. Kedua, amaliah yang menyerupai benda angkasa yaitu menjalankan ubungan baik dengan di bawahnya, dengan dirinya dan dengan Tuhannya. Ketiga, amaliah yang menyerupai al wajib al wujud yang dapat mengantar kepada kebahagiaan abadi sebagai sasaran akhir dari prisip moral.[17]
E.     Kesimpulan
            Pemikiran Ibnu Thufail tersebut yang telah dijabarkan di atas merupakan hasil pemikiran dari seorang filsuf Muslim yang lebih cenderung merenung daripada menulis. Pemikirannya tersebut bukan murni dari hasil perenungan Ibnu Thufail melainkan adapula pengaruh dari filsafat Ibnu Bajjah, al Ghazali, Aristoteles, Plato dan lainnya.
Ibnu Thufail berusaha memadukan pandangan filosofis-rasionalistis dengan pandangan mistis-kontemplatif. Ia mengubah tasawuf menjadi rasionalisme dan mengubah rasionalisme menjadi tasawuf. Bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat dan ilmu pengetahuan dengan agama.


[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm. 102.
                [2]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hllm.102
                [3] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 235.
                [4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 103.
                [5]A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 236.
                [6] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 239.
                [7] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 108.
                [8] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 236.
                [9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hllm. 109.
                [10] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hllm. 109-120.
                [11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 110
                [12] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 110.
                [13] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 111.
                [14]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 111-112.
                [15]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 111.
                [16] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 112.
                [17] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar