HUKUM KORUPSI DAN PENANGANANNYA PADA MASA NABI
Korupsi diperkirakan sudah muncul dalam peradaban manusia sejak manusia mengenal system hidup bersama yang terorganisir. Dalam Islam tidak ada istilah korupsi, yang ada adalah risywah atau suap. Pemahaman korupsi mulai berkembang di barat pada permulaan abad ke-19, setelah adanya Revolusi Perancis, Inggris dan Amerika, yaitu ketika prinsip pemisahan antara keuangan umum atau negara dan keuangan pribadi mulai diterapkan, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap sebagai korupsi.[1]
Korupsi merupakan musuh bersama, untuk memberantasnya diperlukan kerjasama semua lini, dari pemerintah hingga rakyat biasa. Karena korupsi di Indonesia merupakan korupsi sistemis, yakni melibatkan suatu system atau susunan yang teratur dan dilakukan secara rapi, sulit dilacak, sulit dibuktikan dan sulit menyentuh mereka yang berada di posisi puncak kekuasaan dari system praktik korupsi.[2] Dari fenomena tersebut, pantaslah jika para cendikiawan muslim mengajukan gagasan fiqh antikorupsi yang diharapkan mampu memberikan suatu hukum atau solusi yang tepat terhadap permasalahan korupsi yang semakin mengganas.
A. Definisi Korupsi
Korupsi (corruption) sebenarnya berasal dari bahasa Latin (corruption yang artinya ‘penyuapan’; dari corrumpere yang artinya ‘merusak’).[3] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain). (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, hlm. 527).
Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang juga amat dikutuk Allah SWT.[4]
B. Jenis-Jenis Korupsi
Dari segi tipologi, korupsi dapat dibagi menjadi:
1. Korupsi Transaktif (transactive corruption) yaitu menunjukkan kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh keduanya. Jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption) yaitu yang mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
3. Korupsi Defensif (defensive corruption) yaitu perilaku korban korupsi pemerasan yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri.
4. Korupsi Investif (investive corruption) yaitu pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
5. Korupsi Perkerabatan atau Nepotisme (nepotistic corruption) yaitu penunjukkan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang memberikan perlakuan mengutamakan, dalam bentuk uang atau yang lain, kepada mereka secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
6. Korupsi Otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan oleh seseorang seorang diri. Brooks mencetuskan subjek yang ia sebut autocorruption. Bentuk korupsi ini tidak melibatkan orang lain dan pelaku hanya seorang saja.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption) ini tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain. Tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.[5]
Meskipun Islam tidak megenal istilah “korupsi”, tapi korupsi memiliki sejumlah persamaan dengan jenis kejahatan yang dikenal Islam, di antaranya:
1. Ghulul yang secara leksikal berarti pengkhianatan. Dalam Q.S. Ali Imran :161,
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ/ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4’¯ûuqè? ‘@à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÊÈ
“tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
ghulul digunakan dalam pengertian mengambil harta rampasan perang sebelum harta tersebut didistribusikan. Dalam konteks korupsi, ghulul merupakan jenis korupsi yang otogenik yaitu korupsi yang dilakukan sendiri tanpa melibatkan orang lain. Rasulullah sendiri kemudian memperluas makna ghulul pada beberapa bentuk: (a) komisi, yakni tindakan mengambil sesuatu penghasilan di luar gaji yang telah ditetapkan untuk jabatannya. Nabi saw. bersabda:” Siapa saja yang telah aku angkat dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterimanya di luar gaji adalah korupsi (ghulul).” (HR. Abu Dawud) (b) hadiah, yakni pemberian yang diterima karena suatu jabatan yang melekat pada dirinya. Nabi saw. juga menyatakan, “hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulul).” (HR. Ahmad).[6]
2. Risywah atau suap, ditinjau dari segi bahasa adalah suatu yang dapat menghantarkan tujuan dengan segala cara.[7] Sedangkan menurut istilah syar’i ada beberapa pendapat ulama, diantaranya:
Menurut Ibrahim An Nakha’i, risywah adalah “sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran.”
Dr. Yusuf Qardhawi memberikan pengertian bahwa risywah adalah “Suatu yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan atau jabatan (apa saja) untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawan-lawannya sesuai dengan apa yang ia inginkan atau untuk memberikan peluang kepadanya (tander, misalnya) atau menyingkirkan conterpatnya.”
Rasulullah sendiri melarang perbuatan suap menyuap, “Rasulullah mengutuk penyogok, penerima sogokan dan perantaranya.” (HR. Ahmad dan Hakim), Rasulullah saw. juga bersabda: “Allah melaknat orang-orang yang melakukan dan menerima suap.” (HR.Ibn Majah).
3. Al-suht yang secara leksikal berarti membinasakan dan digunakan untuk melukiskan binatang yang sangat rakus dalam memperoleh makanan. Hal tersebut sama dengan orang-orang yang memakan harta yang tidak diketahui dari mana asalnya. Dalam Q.S. Al Maidah: 42, kata al-suht diartikan dengan suap.
šcqã軣Jy™ É>É‹s3ù=Ï9 tbqè=»ž2r& ÏMós¡=Ï9 4
“mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram…”
Sedangkan menurut Ibnu Siri, suht adalah suap menyuap dalam hukum dan uang tip prostitusi.[8]
4. Al-hirabah yang berarti merampas harta orang lain. Kata “yuharibuna” dalam Q.S. Al Maidah: 33 yang dimaknai sebagai hirabah atau perampasan. Tindakan tersebut dapat dilakukan perorangan ataupun berkelompok. Korupsi yang dilakukan dengan cara paksa seperti pungutan liar, meminta komisi, jasa perantara, menerima hadiah, uang pelican dan lainnya dapat dikategorikan dalam istilah al-hirabah.
5. As-saraqah yang berarti mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan melawan hukum. Syekh Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah dengan “Orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut”. Menurut Syarbini al-Khatib yang disebut pencurian adalah mengambil barang secara sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksud untuk memiliki yang dilakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat tertentu.[9]
6. Ghasab yakni merampas harta orang lain dengan cara zalim atau mengambil hak orang lain.
7. Khasr dan bakhs yakni melakukan kecurangan yang merugikan orang lain sebagaimana yang terdapat pada QS. Al Syu’ara: 183.[10]
Ÿwur (#qÝ¡y‚ö7s? }¨$¨Z9$# óOèduä!$u‹ô©r& Ÿwur (#öqsW÷ès? ’Îû ÇÚö‘F{$# tûïωšøÿãB ÇÊÑÌÈ
dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan
C. Factor Terjadinya Korupsi
Suatu tindakan tidak mungkin terjadi tanpa didahului oleh suatu sebab. Dalam hal ini beberapa factor penyebab terjadinya tindakan korupsi diantaranya: (a) Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi. (b) Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika. (c) Kolonialisme yang tidak memberikan gugahan kesetiaan apalagi kepatuhan dalam membendung korupsi. (d) Kurangnya pendidikan, terutama pendidikan yang berbasis antikorupsi. Pelaku korupsi justru mereka yang berpendidikan atau masuk dalam kelompok terpelajar. (e) Kemiskinan. (f) Tiada tindak hukuman yang keras dan menjerakan. (g) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi. (h) Struktur pemerintahan. (i) Perubahan radikal. Ketika suatu system mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional. (j) Keadaan masyarakat yang merupakan cerminan nilai keseluruhan.[11]
D. Hukum Korupsi
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ô‰è?ur !$ygÎ/ ’n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÑÈ
“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian di antara kamu dengan jalan batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan cara dosa padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (QS. An-Nisaa: 58)
Rasulullah saw. bersabda:
ﻛﻝﻟﺣﻢﻧﺒﺕﺒﺎﻟﺴﺣﺕﻔﺎﻟﻧﺎﺮﺃﻟﻰﺒﻪﻓﻘﺎﻟﻭﺍﻳﺎﺮﺳﻭﻝﷲ׃ﻭﻤﺎﺍﻟﺳﺣﺕ؟ﻗﺎﻞ׃ﺍﻟﺮﺷﻭﺓﻔﻰﺍﻟﺣﻛﻢ
“Daging yang tumbuh dari mengkonsumsi yang haram, maka neraka lebih baik baginya. Apakah suht itu ya rasul? Tanya sahabat. Suap menyuap dalam hukum. Jawab rasulullah. (Al Qurtubi 3/183, Al-Jasshosh, 2/432)[12]
ﻋﻦﺛﻭﺒﺎﻦﺭﻀﻲﷲﻋﻨﻬﻢﻗﻞ׃ﻟﻌﻦﺭﺳﻭﻞﷲﺺﻢﺍﻟﺭﺍﺷﻰﻭﺍﻟﻤﺭﺘﺷﻰﻭﺍﻟﺭﺍﺋﺵﻳﻌﻨﻰﺍﻟﺫﻳﻤﺷﻰﺒﻳﻨﻤﺎ
“Dari Tsauban ra. berkata: Rasulullah melaknati penyuap, penerima suap dan mediator antara keduanya.” (Musnad, 2/164)[13]
Korupsi khususnya dalam bentuk suap yang bertujuan untuk menghilangkan kedzaliman, para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya.
1. Tidak boleh
Imam As-Syaukani tidak membolehkannya dengan alasan apapun, berdasarkan tekstual hadits secara umum.
ﻮﻻﺘﺄﻛﻟﻮﺍﺃﻤﻮﺍﻟﻛﻢﺒﻳﻨﻛﻢﺒﺎﻟﺒﻄﻝ
“Dan janganlah kalian saling mendapatkan harta secara bathil”.
ﻻﻳﺣﻝﻤﺎﻝﺍﻤﺭﺋﻰﻤﺴﻟﻢﺇﻻﺒﻄﻳﺒﺔﻤﻥﻧﻔﺳﻪ
“Harta individu muslim tidak halal bagi muslim lainnya kecuali atas keridhaan dan izinnya”.
As-Syaukani berargumentasi: ada dua alternative ketika seseorang memberikan suap. Pertama, mendapatkan hukum Allah (yang semestinya) merupakan hak setiap individu yang statusnya wajib dan sudah menjadi tugasnya untuk menegakkan yang hak sehingga kenapa harus menunggu imbalan atau pemberian (suap). Kedua, jika pemberian uang tersebut untuk melanggar hukum Allah, terlebih untuk suatu yang bathil maka upaya tersebut lebih hina daripada uang tip yang diberikan kepada pelacur.
2. Tawaquf (netral)
Bergantung situasi dan kondisi yang merupakan pendapat Syaikh Manna’ Kholil Al-Qothon.
3. Memperbolehkan dengan syarat khawatir terjadi kedzaliman
Pendapat ini didukung oleh Hasan, Sya’bi, Jabir Ibnu Zaid, ‘Atho’. Mereka mengatakan:
“Tidak mengapa seseorang berupaya mempertahankan jiwanya, hartanya (dengan menyuap) jika dikhawatirkan terjadi kedzaliman.”
Yusuf Qardhawi memberikan komentar: “Siapa yang memiliki hak, lalu terancam atau terbengkalai, sedangkan ia tidak bisa mendapatkan kembali haknya tersebut kecuali dengan jalan suap maka idealnya ia harus bersabar hingga Allah memberikan jalan terbaik untuk mendapatkan haknya kembali. Jika sudah berupaya semaksimal mungkin melalui jalur yang benar dan syar’i tapi mengalami kesulitan, mentok dan buntu, sepanjang upaya tersebut untuk mendapatkan haknya dan tidak merugikan sesama maka itu boleh.”
Namun tidak dapat serta merta jika hak seseorang tidak dapat terpenuhi maka ia bisa dengan leluasa melakukan penyuapan. Hal tersebut merupakan alternative terakhir atau upaya darurat dan hendaknya tetap memperhatikan asas-asas darurat serta selalu hati-hati (ihtiyath).[14]
E. Hukuman Bagi Koruptor
Dalam hukum pidana Islam terdapat tiga system pemberian sanksi, yaitu qishash (hukuman setimpal dengan perbuatan pelaku kejahatan), hudud (hukuman yang telah ditentukan Allah selain qishash), dan ta’zir (hukuman yang didasarkan pertimbangan hakim, sebagai bagian atau representasi dari penguasa negara). Sanksi hukum yang dapat diberikan kepada koruptor ialah berupa hukuman ta’zir. Karena tidak dapat diterapkan hukum qishash ataupun hudud, sebab secara konkrit ia bukan seorang pembunuh atau orang yang melukai orang lain yang sifatnya langsung, seperti ketentuan nash hukum yang jelas sehingga ia tidak dapat dijatuhi hukum qishash. Sedangkan tidak berlakunya sanksi hudud, sekalipun pencurian (termasuk tindak korupsi) disebabkan korupsi merupakan tindakan yang bukan hanya melakukan pencurian yang sanksi hukumnya dipotong tangan tetapi lebih dari itu, yakni tindakan menyelewengkan dan menyalahgunakan dana yang merugikan negara dan orang banyak. Sehingga dengan diterapkannya hukum ta’zir, maka bisa jadi hukuman terhadap koruptor bisa melebihi sanksi hukum qishash dan hudud, sesuai dengan pertimbangan hakim dengan memperhatikan berbagai konteks yang relevan.[15]
Sedangkan menurut UU No. 31 tahun 1999 pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- dan paling banyak 1.000.000.000,-. (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.[16]
F. Solusi
Secara sederhana bisa dikemukakan bahwa pemberantasan korupsi akan berhasil dengan mencegah timbulnya niat seseorang untuk melakukan korupsi dan menghilangkan kesempatan bagi seseorang agar tidak melakukan korupsi, untuk melakukan pencegahan ini, ada tiga pendekatan yang bisa digunakan yaitu pendekatan pada posisi sebelum tindakan korupsi terjadi, pendekatan saat korupsi terjadi dan setelah korupsi terjadi.[17] Dari ketiga pendekatan tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi, yaitu (a) Strategi preventif ialah suatu upaya yang sifatnya pencegahan yang dilakukan secara luas, bukan hanya oleh penguasa tetapi juga oleh rakyat.[18] (b) Strategi detektif merupakan upaya untuk mendeteksi korupsi dengan cepat.[19] (c) Strategi represif yaitu penekanan terhadap semua lini yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi atau bisa juga dengan memberikan sanksi hukum kepada pelaku korupsi.[20]
Sedangkan penanganan korupsi pada masa Nabi Muhammad saw. dilakukan dengan langkah teologi-moralitas atau moral-psikologis. Hal ini karena sesungguhnya orang yang melakukan korupsi adalah orang yang jiwanya sedang sakit, ia hanya mencita-citakan kehidupan dunia tanpa mempedulikan kehidupan akhirat, sehingga ia menjadi tamak. Rasulullah sendiri melakukan pembinaan moral dengan menanam kesadaran untuk menghindari perbuatan korupsi dan mengingatkan hukumannya di akhirat, salah satunya dengan mengingatkan bahwa sekecil apapun ia melakukan korupsi maka ia akan masuk neraka. Dalam kesempatan lain, Nabi juga melakukan pemeriksaan (audit) terhadap para pejabat yang sudah selesai menjalankan tugas.[21]
Berikut ini merupakan beberapa hadits yang menunjukkan strategi beliau dalam menangani perbuatan korupsi:
ﻋﻦﻤﺼﻌﺐﺒﻥﺳﻌﺩﻗﺎﻞ׃ﺩﺨﻞﻋﺒﺩﷲﺒﻥﻋﻤﺭﻋﻟﻰﺍﺒﻥﻋﺎﻤﺭﻳﻌﻭﺩﻩﻭﻫﻭﻤﻳﺾﻓﻗﺎﻞﺃﻻﺘﺩﻋﻭﷲﻟﻲﻳﺎ ﺍﺒﻥﻋﻤﺭﻗﺎﻞﺍﻧﻲﺳﻤﻌﺖﺭﺳﻭﻞﷲﺺﻢﻳﻗﻭﻞﻟﻤﺎﺘﻗﺒﻞﺼﻼﺓﺒﻐﻳﺭﻄﻬﻭﺭﻭﻼﺼﺩﻗﺔﻤﻥﻏﻟﻭﻞ
Dari Mus’ab ibn Sa’d. Ia berkata, Abdullah ibn Umar masuk ke rumah ibn Amir untuk menjenguknya karena sakit. Kemudian ibn Amir berkata: mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah untuk kesembuhanku, hai ibn Umar ? Ibn Umar berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:”Shalat tanpa bersuci tidak diterima dan begitu juga sedekah dari ghulull (korupsi). (Shahih Muslim)
ﻋﻥﺛﻭﺒﺎﻥﻗﺎﻞﻗﺎﻞﺭﺳﻭﻞﷲﺺﻢﻤﻥﻤﺎﺖﻭﻫﻭﺒﺭﻱﺀﻤﻥﺛﻼﺚﺍﻟﻜﺒﺭﻭﺍﻟﻐﻟﻭﻞﻭﺍﻟﺩﻳﻥﺩﺧﻞﺍﻟﺟﻨﺔﻭﻓﻲﺍﻟﺒﺎﺐﻋﻥﺃﺒﻲﻫﺭﻳﺭﺓﻭﺯﻳﺩﺒﻥﺧﺎﻟﺩﺍﻟﺟﻬﻨﻲ
Dari Sauban, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:”Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan terbebas dari tiga hal, yaitu kesombongan, korupsi dan hutang, niscaya ia masuk surga. (Sunan al-Tirmidzi)
ﻋﻥﺳﻤﺭﺓﺒﻥﺟﻨﺩﺐﻗﺎﻞﺃﻤﺎﺒﻌﺩﻭﻜﺎﻥﺭﺳﻭﻞﷲﺺﻢﻳﻗﻭﻞﻤﻥﻜﺘﻢﻏﺎﻟﺎﻓﺈﻨﻪﻤﺜﻟﻪ
Dari samurah ibn Jundub (bahwa) ia berkata: adapun selanjutnya, Rasullah bersabda:”Barangsipa menyembunyikan koruptor, maka ia sama dengannya.” ( Sunan Abi Dawud)
Dari hadits tersebut, bahwa orang yang melindungi atau menyembunyikan koruptor ia sama dengan berbuat korupsi, secara tidak langsung hal tersebut menunjukkan suatu strategi pencegahan agar tidak terjadi korupsi yang sistemis.[22]
G. Penutup
Korupsi saat ini sudah mendarah daging hingga serasa sulit untuk memberantasnya. Sanksi hukum yang sudah mengalami perkembangan yang diberikan kepada pelaku masih belum efektif untuk memberantas korupsi. Untuk itu diperlukan strategi dan solusi yang tepat dalam pencegahan sampai pemberantasaanya yang mesti dilakukan oleh tiap individu. Karena perbuatan tersebut telah merugikan banyak orang bahkan telah merampas hak-hak orang lain yang semestinya mereka terima.
[1] Syaikhudin, “Ragam Korupsi (Ghulul) dan Penanganannya Pada Masa Nabi saw.”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadits Vol.11, No. 1, Januari 2010, hlm. 150.
[10] Ahmad Baedowi. “Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif Islam”, Esensia Vol. 10, No. 2, Juli 2009, hlm. 146-147.
[21] Syaikhudin, “Ragam Korupsi (Ghulul) dan Penanganannya Pada Masa Nabi saw.”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadits Vol.11, No. 1, Januari 2010, hlm. 165-166.
[22] Syaikhudin, “Ragam Korupsi (Ghulul) dan Penanganannya Pada Masa Nabi saw.”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadits Vol.11, No. 1, Januari 2010, hlm. 170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar