Minggu, 11 Desember 2011

"Dakwah Baru"


Bagi umat Islam, kata dakwah mungkin sudah tidak asing lagi. Ketika muncul kata dakwah maka yang langsung tergambar dalam pikiran adalah sebuah kegiatan yang isinya hanya mendengar ceramah agama yang disampaikan oleh pendakwah. Pendakwah sekarang ini pun sudah tak mengedepankan ilmu yang didalaminya tapi hanya dicukupkan dengan “keberanian berbicara”. Kenapa dibilang dengan “keberanian berbicara”? karena telah diketahui bersama bahwasannya mereka tidak mendalami ilmu-ilmu yang wajib dikuasai oleh seorang pendakwah terlebih itu menyangkut agama yang tak boleh asal-asalan dalam memberikan pendapat. Dilihat dari background mereka yang notabene bukan seorang yang secara khusus mengkaji Islam sebagai contoh mengusai Bahasa Arab, ilmu ushuluddin, dan yang lainnya.
Dalam memberikan ulasan tentang agama hendaknya para pendakwah tak hanya menyajikan satu pendapat saja akan tetapi menyuguhkan beberapa pendapat. Hal tersebut sebagai upaya untuk meminimalisir fanatisme terhadap salah satu pendapat dan agar tidak ada lagi judgment hitam-putih benar-salah.
Dakwah Baru
Meminjam kata dari azyumardi Azra, setelah lahirnya “orientalisme baru”, “intelektual baru” maka perlu kiranya kita lahirkan “dakwah baru”. Melihat kondisi masyarakat yang sekarang ini maka dakwah tak boleh hanya berhenti pada pemberian ceramah agama tapi perlu wujud nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena agama tak mungkin lepas dari berbagai sendi kehidupan tiap individu.
"Dakwah baru" ini juga diharapkan mampu melahirkan sikap saling memahami dan menghargai perbedaan baik itu sesama muslim maupun dengan non muslim. Sehingga dengan pemahaman yang demikian maka tak akan ada lagi dengung-dengung terorisme yang selalu dikaitkan dengan permusuhan antara umat muslim dan umat kristiani.

Perempuan Periwayat Hadits


Perempuan dalam Islam memang tak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Salah satunya yaitu peran perempuan dalam meriwayatkan suatu hadits Nabi Muhammad saw. Tak dapat dipungkiri bahwa perempuan memiliki peran yang cukup signifikan dalam mentransmisi berita mengenai perilaku dan kehidupan Nabi Muhammad yang akan selalu menjadi teladan bagi seluruh umat Islam. Terutama para istri-istri Nabi yang lebih sering melakukan interaksi dengan beliau. Akan tetapi dalam perkembangannya, perempuan tak dapat lagi eksis memainkan peranannya dalam meriwayatkan hadits. Hal tersebut karena adanya berbagai factor yang menyelimutinya.
Namun keterbatasan yang dimiliki perempuan tak dapat dijadikan alasan untuk tidak berpartisipasi dalam ranah public karena walau bagaimanapun peran perempuan sangat ditunggu dan dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satunya yaitu dalam meriwayatkan hadits, sejauh manakah peran perempuan dalam menjaga kelangsungan transmisi hadits dan seperti apakah keterlibatan perempuan dalam meriwayakan hadits
A.     Sejarah Perempuan pada Masa Awal Islam di Arab
 Kondisi perempuan pra-Islam tidak mempunyai independensinya sendiri karena kaum perempuan dianggap dari laki-laki dan untuk laki-laki, serta perlakuan mereka yang tidak “memanusiakan perempuan”. Kemudian Islam datang memberikan pembebasan dari berbagai macam penindasan terhadap perempuan. Hal tersebut terlihat dari sikap Nabi Muhammad yang adaptif-evolutif yaitu dengan membebaskan dan memposisikan perempuan sebagai manusia yang mempunyai hak hidup serta kewajiban lainnya. Nabi juga memposisikan perempuan dalam posisi yang lebih terhormat.[1]
Pasca Islam perempuan diberikan ruang gerak tak hanya melulu mengurusi wilayah domestik saja akan tetapi ada keterlibatan perempuan dalam beberapa bidang. Sebagai contohnya yaitu peran serta para perempuan dalam merawat korban peperangan, perias, penyamak kulit, pedagang dan lainnya.[2] Hal tersebut merupakan sebuah sikap evolutif Nabi dan progresifitas setelah terjebaknya perempuan hanya dalam wilayah domestik saja dan tidak adanya pemberdayaan perempuan untuk mensejahterakan perempuan.
B.     Peran Perempuan dalam Periwayatan Hadits
Kisah mengenai perempuan meriwayatkan suatu tindakan atau ucapan Nabi telah muncul bersamaan dengan dimulainya periwayatan hadits. Syarat-syarat riwayat atau hadits tersebut dapat diterima diantaranya ialah sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhabit, tidak ada syadz dan ‘illat.[3] Selain itu para muhaddisin menyatakan bahwa jenis kelamin dan status seseorang tidak bisa dijadikan dasar diterima atau tidaknya suatu berita atau kesaksian, pernyataan tersebut juga mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh ahli fiqh seperti Al Khatib, A Razi dan  Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani. Salah satu argument yang dikemukakan al Khatib yaitu bahwa Nabi saw. pernah meminta kesaksian Barirah dan beberapa perempuan lain dalam peristiwa Hadits al Ifki, sebuah kasus yang bercerita tentang isu perselingkuhan Aisyah. Maka dari syarat yang telah ditetapkan oleh muhadditsin tersebut tidak ada larangan bahwa perempuan tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits.[4]
Ibnu Shalah dan An Nawawi, mereka tidak mengaitkan keadilan dengan jenis kelamin melainkan dengan kualitas-kualitas tertentu, seperti muslim, baligh, berakal, tidak ternoda  oleh perbuatan yang tidak terpuji dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah (keutamaan, kewibawaan, kesopanan).[5] Az Zahabi dalam kitabnya mengemukakan bahwa ia tidak menemukan satu perempuan pun yang tertuduh dusta dan ditinggalkan haditsnya. Mengenai perempuan yang dikategorikan lemah, semata-mata karena tidak ada informasi yang lebih jauh tentang latar belakang kehidupan mereka.[6]
Dibukanya majlis ta’lim khusus perempuan yang diisi oleh Nabi sendiri semakin memperluas keterlibatan beberapa perempuan yang bukan termasuk istri Nabi dalam periwayatan hadits. Dari majlis tersebut, datang beberapa pertanyaan mengenai agama atau masalah lainnya yang diajukan kepada Rasulullah yang dibutuhkan penjelasan langsung dari Rasulullah saw..[7]
Namun, meninggalnya Rasulullah memberikan pukulan berat bagi umat muslim terutama kaum perempuan karena kondisi perempuan mengalami penurunan yang drastis sepeninggalan beliau. Meskipun para istri Nabi dan beberapa sahabat perempuan masih menjadi rujukan para sahabat atau tabi’in lain untuk mengetahui “berita tentang Nabi” akan tetapi secara umum keterlibatan perempuan dalam wilayah public semakin memudar. Terlebih karena adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh para khalifah, - misalnya pada masa Umar bin Khatab, perempuan tidak lagi diizinkan pergi ke masjid – dan adanya upaya masyarakat Arab untuk mengembalikan format perempuan dalam wilayah domestic saja, yang merupakan penyebab utama kemunduran perempuan.[8]
Sedangkan pada masa tabi’in, jumlah tabi’in perempuan yang menonjol lebih sedikit dari jumlah sahabat perempuan yang terlibat dalam periwayatan hadits. Menurut Ibn Sa’d ada 94 tabi’in perempuan sedangkan menurut Ibn hajar ada 140 tabi’in perempuan adapun menurut Ibnu Hibban ada 90 orang yang terlibat dalam periwayatan hadits sebagai salah satu peran public.[9]
Adapun menurut Dr. Luthfi Fathullah MA yang juga menjabat sebagai Ketua Kajian Hadits Al Mughni menyatakan bahwa jalur periwayatan perawi perempuan kebanyakan berkembang melalui kerabat atau famili. Caranya, seorang kerabat meriwayatkan dari para perawi perempuan tersebut, kemudian dia meriwayatkan ke kerabatnya yang lain. Dan model periwayatan perawi perempuan itu cenderung mengerucut atau piramida terbalik. Dari yang besar, kemudian mengecil. Misalnya, jika ada 100 perawi shahabiyah, maka pada masa tabi’in hanya tinggal 50 orang perawi. Selanjutnya semakin berkurang, dan ditutup di zaman gurunya Bukhari—meskipun ketika itu ada seorang perawi perempuan yang juga bernama Aisyah.[10]
Sehingga menurut beliau beberapa faktor yang menyebabkan periwayatan perempuan tidak bisa berkembang sebagaimana periwayatan laki-laki. Pertama, faktor keluarga. Kedua, sedikit sulit bagi perempuan untuk melakukan rihlah. “Tradisi hadis adalah rihlah, perempuan tidak melakukan rihlah, karena mengurusi keluarga,”. Kalau pun mereka melakukan rihlah, paling tidak hanya untuk urusan silaturahim atau untuk menunaikan umrah. Kalau mereka bertemu dengan kerabat yang meriwayatkan hadis, maka mereka pun ikut meriwayatkannya.[11] 
Perempuan pada masa awal Islam ini mengambil peran yang cukup signifikan dalam keberlangsungan komunitas Muslim dengan menjaga mata rantai transmisi tentang kehidupan Nabi saw.[12] Namun sungguh ironi ketika para muhadditsin tidak mempermasalahkan gender dalam periwayatan hadits, tapi generasi berikutnya justru seolah menghalangi perempuan dalam meriwayatkan hadits. Karena factor politik dan budaya yang cenderung memarginalkan perempuan sehingga turut menyumbangkan terjadinya penurunan jumlah perempuan dalam periwayatan hadits.[13]
Baik dari segi kuantitas maupun kulitas dalam tradisi periwayatan hadits perempuan tidak hanya pada transmisi hadits saja akan tetapi juga telah menunjukkan kualitas keagamaan dengan tingkat integritas, intelektualitas dan kepercayaan yang tinggi.[14]
Para ulama hadits tidak pernah ragu-ragu untuk mengambil riwayat dari para perawi wanita sebagaimana mereka mengambil dari perawi laki-laki. Bahkan Al Hafidz bin ‘Asakir pernah mengatakan bahwa jumlah guru-gurunya dari kaum perempuan lebih dari delapan puluh orang.[15] Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memainkan peranan yang penting dalam menyebarkan ilmu agama khususnya hadits.
C.     Keterlibatan Perempuan dalam Periwayatan Hadits
Perawi hadits Nabi tak hanya dari istri-istri Nabi saw. saja akan tetapi adapula yang bukan dari istri Nabi saw., jumlah hadits yang diriwayatkan pun berbeda-beda. Sahabat perempuan yang meriwayatkan hadits dan ditulis dalam Al kutub At Tis’ah berjumlah 132 orang. Periwayat terbanyak adalah Aisyah binti Abu Bakar, kemudian Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah), Asma’ binti Abu Bakar, Zainab binti Abu Salamah, Maimunah binti al Harits, Hafshah binti Umar, Ramlah binti Abi Sufyan, Ummu ‘Athiyah, Shafiyyah binti Syaibah dan Fahitah binti Abi Thalib.[16]
1.       ‘Aisyah mengambil bagian terbanyak dalam meriwayatkan hadits dari Nabi saw. beliau meriwayatkan 2.220 hadits sehingga beliau sangat mempengaruhi ‘fiqul  Islam’, kehidupan berpikir, beragama dan berpolitik kaum muslimin.[17] Dalam Al Kutub At Tis’ah, riwayat hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 5965 yang tersebar dalam 293 tema (83,6%) selain yang terdapat dalam Musnad Ahmad, dari 354 tema yang terdapat dalam kitab hadits sumber primer.
2.       Hindun binti Umayyah, hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 622 hadits dan terbagi dalam 120 bab. Ia merupakan istri Nabi saw.
3.       Asma binti Abu Bakar yang merupakan saudari Aisyah dan hadits yang disandarkan kepada Asma berjumlah 209 hadits.
4.       Zainab binti Abu Salamah yang merupakan anak tiri Nabi saw setelah Nabi menikahi Ummu Salamah. Hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 177 hadits.
5.       Maemunah binti Al Harits, jumlah hadits yang disandarkan kepadanya ada 172 hadits.
6.       Hafshah binti ‘Umar ibn Al Khatab, hadits yang disandarkan kepadanya sebanyak 147 hadits.
7.       Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan, hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 144 hadits.
8.       Ummu ‘Athiyah Nusaibah binti Ka’ab, hadits yang disandarkan kepadanya sebanyak 119 hadits
9.       Shafiyah binti Syaibah, hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 106 hadits.
10.   Fahitah binti Abi Thalib (Ummu Hani) yang merupakan saudara perempuan Ali bin Abi Thalib, ia meriwayatkan 87 hadits dalam kutub at tis’ah.[18]
D.     Kesimpulan
Dalam meriwayatkan hadits Nabi tidak ada larangan bagi perempuan untuk meriwayatkan suatu hadits Nabi, asalkan sudah memenuhi syarat keadilan dan ketsiqahan bagi seorang perawi. Peran perempuan dalam meriwayatkan hadits Nabi dari masa Nabi hingga sekarang mengalami penurunan yang drastis karena beberapa factor seperti yang dijelaskan di atas.  Keterlibatan perempuan dalam meriwayatkan hadits sendiri sangat bermanfaat bagi umat Islam terutama ketika hendak memutuskan suatu hukum yang berkenaan tentang permpuan yang lebih banyak diriwayatkan oleh rawi perempuan. Hal tersebut dapat diketahui salah satunya karena Rasulullah membuka majlis khusus perempuan yang menjadi ladang tanya jawab untuk menyelesaikan masalah yang melanda kaum perempuan pada saat itu.    



                [1] Nurun Najwah, Wacana Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits) (Yogyakarta: Cahaya Pustaka Yogyakarta, 2008), hlm. 10-13.
                [2] Nurun Najwah, Wacana Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits), hlm. 20.
                [3] M. Mawardi Djalaluddin, “Hadits Shahih” dalam  M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Teras,2010), hlm. 244.
                [4] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 51.
                [5] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 50.
                [6] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 53.
                [7] Nurun Najwah, Wacana,Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits) (Yogyakarta: Cahaya Pustaka, 2008),  hlm. 19.
                [8] Nurun Najwah, Wacana,Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits),  hlm.  26.
                [9] Nurun Najwah, Wacana,Spiritualitas Perempuan (Perspektif Hadits),  hlm.  26.
                [10] Salim, “Perawi  Perempuan Dalam Tradisi” dalam   http://www.majalahgontor.co.id,  diakses tanggal 7 Desember 2011.
                [11] Salim, “Perawi  Perempuan Dalam Tradisi” dalam  http://www.majalahgontor.co.id,  diakses tanggal 7 Desember 2011.
                [12] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2002), hlm. 48.
                [13] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm. 48.
                [14] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, “Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadits” dalam Ali Muhanif dkk (ed), Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, hlm 53-54.
                [15] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam; Suatu Tinjauan Syari’at Islam Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim, hlm.  38.
                [16] Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits” dalam  http://haroqi.multiply.com/tag/hadits, diakses tanggal 14 November 2011
                [17] Abdurrahman Al Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam; Suatu Tinjauan Syari’at Islam Tentang Kehidupan Wanita terj. Muhammad Utsman Hatim (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 36.
                [18] Agung Danarta, “Perempuan Perawi Hadits” dalam  http://haroqi.multiply.com/tag/hadits, diakses tanggal 14 November 2011

Selasa, 22 November 2011

ISTIFHAM



         Pada hakikatnya tafsir merupakan sebuah proses dan produk pemikiran terhadap al Qur’an. Dalam menafsirkan suatu ayat al Qur’an, seorang mufasir memerlukan beberapa disiplin ilmu. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir kesalahan dalam penafsiran ayat al Qur’an.  Diantara disiplin ilmu yang diperlukan ialah ilmu bahasa (nahwu, sharaf, balaghah), ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh wa mansukh dan ilmu pendukung lainnya. Dalam ilmu bahasa yang paling urgen untuk dipahami ialah tentang beberapa kaidah nahwu yang dapat membantu memahami teks melalui pendekatan bahasa. Salah satunya ialah kaidah istifham yang terdapat dalam al Qur’an.
            Tak sedikit ayat al Qur’an yang menanyakan tentang sesuatu yang bersifat khusus atau pun umum. Sedangkan kata yang digunakan sebagai kata tanya ada beberapa macam. Makna yang terkandung pun bisa bermacam-macam. Oleh karena itu kiranya sangat diperlukan penjabaran tentang kaidah istifham dalam al Qur’an agar ayat-ayat tersebut dapat dipahami sesuai dengan tujuan ayat tersebut turun. Wallahu a’lam

A.     Pengertian Istifham
Istifham berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata istafhama yang berarti istaudhaha. Akar katanya adalah fahima yang berarti faham, mengerti, jelas. Akar kata ini mendapat tambahan alif, sin dan ta’ di awal kata yang salah satu fungsinya adalah untuk meminta. Dengan demikian itu berarti permintaan penjelasan (thalabul fahmi).[1] Sedangakan secara istilah, istifham menurut Al Zarkasi adalah mencari pemahaman tentang suatu hal yang tidak diketahui.[2] Selain itu, istifham juga bisa dikatakan merupakan bentuk kalimat yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang suatu masalah yang belum diketahhui sebelumnya.[3]
B.     Adawatul Istifham (Kata Tanya)
            Sebagaimana kaidah-kaidah bahasa Arab lainnya, istifham juga memiliki Adawat (adat-adat) sebagai ciri khas yang dapat membedakannya dengan kaidah lainnya.
 Adawatul istifaham terbagi menjadi dua kategori, yaitu
1.      Huruf istifham berupa hamzah dan hal yang artinya apakah.
a.        Huruf hamzah, digunakan untuk menanyakan tentang apa atau siapa yang jawabannya memerlukan : ya atau tidak. Selain itu untuk menghadapi atau memberikan pengertian kepada orang yang ragu-ragu atau mendustakan.
Contoh:
|MRr&uä |Mù=è% Ĩ$¨Z=Ï9 ÎTräσªB$# uÍhGé&ur Èû÷üyg»s9Î) `ÏB Èbrߊ «!$# ( tA$s% y7oY»ysö6ß $tB ãbqä3tƒ þÍ< ÷br& tAqè%r& $tB }§øŠs9 Í< @d,ysÎ/ ...
…Engkaukah yang berkata kepada orang: Sembahlah aku dan ibuku sebagai Tuhan selain Allah?” Ia berkata, “Maha suci Engkau! Tidak sepatutnya aku mengatakan apa yang bukan menjadi hakku… (QS. Al Maidah: 116)
b.      Lafal hal adalah kata tanya untuk konfirmasi, yang memerlukan jawaban : ya atau tidak. Bisa juga digunakan untuk pengingkaran dan maknanya adalah menafikan kalimat sesudahnya. Contoh:
ö@yd 4tAr& n?tã Ç`»|¡SM}$# ×ûüÏm z`ÏiB ̍÷d¤$!$# öNs9 `ä3tƒ $\«øx© #·qä.õ¨B ÇÊÈ  
Bukankah sudah berlalu pada manusia masa yang panjang dari waktu ketika dia bukan apa-apa (bahkan) tidak disebut-sebut? (QS. Al Insan: 1)
2.      Isim istifham berupa ma (apa), man (siapa), kaifa (bagaimana), mata (kapan), ayyana (bilamana), anna (dari mana), kam (berapa), aina (di mana), ayyu (apa, siapa).
a.       Lafal ma (apa), digunakan untuk menanyakan sesuatu yang tak berakal. Atau  untuk menuntut definisi hakikat yang ditanyakan. Contoh:
$tB óOä3x6n=y Îû ts)y ÇÍËÈ   (#qä9$s% óOs9 à7tR šÆÏB tû,Íj#|ÁßJø9$# ÇÍÌÈ  
Apa yang membawa kamu ke dalam api neraka?” Mereka berkata, “Kami tak termasuk golongan orang yang shalat”. (QS. Al Muddatstsir: 42- 43)
øŒÎ) tA$s% ÏmŠÎ/L{ ¾ÏmÏBöqs%ur $tB ÍnÉ»yd ã@ŠÏO$yJ­G9$# ûÓÉL©9$# óOçFRr& $olm; tbqàÿÅ3»tã ÇÎËÈ  
(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" (QS. Al Anbiya: 52)

b.      Lafal man (siapa), digunakan untuk menanyakan makhluk berakal. Contoh:
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 ...
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak… (QS. Al Baqarah: 245)
c.       Lafal kaifa (bagaimana), digunakan untuk menanyakan keadaan sesuatu. Contoh:
y#øx.ur tbrãàÿõ3s? öNçFRr&ur 4n=÷Fè? öNä3øn=tæ àM»tƒ#uä «!$# öNà6ŠÏùur ¼ã&è!qßu 3 ...
Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu… (QS. Ali Imran: 101)
d.      Lafal mata (kapan), digunakan untuk menanyakan waktu, baik yang lampau maupun yang akan datang. Contoh:
4ÓtLtB uqèd ( ö@è% #Ó|¤tã br& šcqä3tƒ $Y6ƒÌs% ÇÎÊÈ   
…"Kapan itu (akan terjadi)?" Katakanlah: "Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat". (QS. Al Isra’: 51)
e.       Lafal ayyana (bilamana), digunakan untuk menanyakan sesuatu berkenaan dengan waktu mendatang. Contoh:
ã@t«ó¡o tb$­ƒr& ãPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ÇÏÈ  
Ia berkata: "Bilakah hari kiamat itu?" (QS. Al Qiyamah: 6)
f.        Lafal anna (dari mana), digunakan untuk menanyakan asal usul. Contoh:
tA$s% Éb>u 4¯Tr& Ücqä3tƒ Í< ÖN»n=äî ÏMtR$Ÿ2ur ÎAr&tøB$# #\Ï%%tæ ôs%ur àMøón=t/ z`ÏB ÎŽy9Å6ø9$# $|ÏFÏã ÇÑÈ  
Ia berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua." (QS. Maryam: 8)
g.       Lafal kam (berapa), digunakan untuk menanyakan jumlah atau bilangan.
Contoh:
tA$s% öNŸ2 |M÷VÎ7s9 ( tA$s% àM÷VÎ7s9 $·Böqtƒ ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqtƒ ( tA$s% @t/ |M÷VÎ7©9 sps($ÏB 5Q$tã ...
…"Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya…" (QS. Al Baqarah: 259)
h.       Lafal aina (dari mana), digunakan untuk menanyakan tempat. Contoh:
( tûøïr'sù tbqç7ydõs? ÇËÏÈ      
maka ke manakah kamu akan pergi ? (QS. At Takwir: 26)
i.         Lafal ayyu (apa, siapa), digunakan untuk menanyakan apa atau siapa. Contoh:
r'sù Èû÷üs)ƒÌxÿø9$# ,ymr& Ç`øBF{$$Î/ ( bÎ) ÷LäêZä. šcqßJn=÷ès? ÇÑÊÈ  
…Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui? (QS. Al An’am: 81)
C.     Makna Istifham
            Istifham seperti yang dijabarkan di atas merupakan pengungkapan yang memiliki bermacam makna bergantung pada siyaqul kalamnya.[4] Diantaranya yaitu:
a)      Untuk pengingkaran dan maknanya adalah untuk menafikan kalimat sesudahnya. Karena itulah pertanyaan ini dapat diikuti oleh Illa (إلا ), seperti Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. Al-Ahqaf: 35
b)      Untuk menjelekkan. Sebagian ulama memasukkan hal ini ke dalam bagian pengingkaran. Tetapi yang pertama berupa pengingkaran untuk membatalkan dan yang kedua adalah pengingkaran untuk menjelekkan, seperti Firman Allah Ta’ala dalam QS. Fathir: 37
c)      Membawa pendengar untuk menetapkan dan menyetujui sesuatu hal yang telah terjadi padanya, seperti Firman Allah Ta’ala dalam QS. Adl-Dluha :6-7
d)      Untuk takjub dan membuat takjub, seperti dalam QS. Al-Baqarah:28
e)      Untuk menyindir, seperti Firman Allah Ta’ala dalam QS. At-Taubah:43
f)        Untuk memberikan peringatan. Firman Allah Ta’ala QS. Yaasiin:60
g)      Untuk membanggakan diri, seperti dalam QS. Az-Zukhruf:51
h)      Untuk membesar-besarkan, seperti dalam QS. Al-Kahfi:49
i)        Untuk menakut-nakuti, seperti QS. Al-Qari’ah:1-2
j)        Untuk memudahkan dan meringankan, seperti dalam QS. An-Nisaa:39
k)      Untuk memberikan ancaman, seperti dalam QS. Al-Mursalat:16
l)        Untuk membuat banyak, seperti dalam QS. Al-A’raf:4
m)    Untuk membuat sama, yaitu: suatu pertanyaan yang masuk kepada sebuah kalimat yang dapat digantikan dengan mashdar, seperti Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. Al-Baqarah:6
n)      Untuk memerintahkan, seperti dalam QS. Ali Imran:20
o)      Untuk memberi peringatan, seperti dalam QS. Al-Furqan:45
p)      Untuk menumbuhkan kecintaan, seperti dalam QS. Al-Baqarah:245
q)      Untuk larangan, seperti dalam Qs. At-Taubah:13
r)       Untuk do’a. dan ini seperti larangan, tetapi do’a itu (bertingkat-tingkat) dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi, seperti dalam QS. Al-A’raf:155
D.    Kesimpulan
            Istifham dalam al Qur’an memiliki adawat (adat-adat) sebagai ciri khas yang membedakannya dengan kaidah lain. Yaitu ditandai dengan huruf hamzah, lafal hal, ma, man, kaifa, mata, ayyana, anna, kam, aina, ayyu. Adapun makna dari ungkapan istifham bisa bermacam-macam bergantung pada siyaqul kalamnya. Sedangkan tujuan dari kaidah istifham dalam ilmu tafsir adalah untuk memberikan pengertian kepada para pendengar dan memiliki pengetahuan untuk menafikan atau menetapkan suatu ayat Al-Qur’an.


[1] Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 177.
                [2] Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an, hlm. 177.
                [3] Rahimah, Ilmu Balaghah Sebagai Cabang Ilmu Bahasa Arab (Sumatera Utara: USU digital library, 2004), hlm. 13.
                [4] Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an, hlm. 181-182.