Seperti yang sudah
diketahui oleh semua umat Islam bahwa Islam mempunyai pokok-pokok aqidah yaitu
iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, hari akhir dan iman kepada
qadha dan qadar. Atau biasa disebut dengan rukun iman. Istilah rukun iman
sendiri merupakan pemberian oleh para ulama. Hal-hal tersebut merupakan bagian
dari aqidah Islam yang sangat urgen terlebih karena aqidah merupakan sebuah
fondasi agama. Sehingga sudah pasti dapat ditemukan beberapa hadits yang
membahas mengenai rukun Islam tersebut. Akan tetapi dalam makalah ini hanya membahas
salah satu rukun Iman tersebut yaitu dengan mencoba untuk memaparkan sedikit
mengenai qadha dan qadar. Seperti apakah hadits yang membahas mengenai takdir
tersebut?
Setelah mengetahui
hadits yang membahas mengenai takdir tersebut maka selanjutnya sangat
dibutuhkan kejelasan mengenai kualitas hadits tersebut. Karena suatu hadits
dapat dijadikan hujjah jika hadits tersebut memiliki kualitas yang tinggi. Lalu
bagaimanakah kualitas hadits yang membahas tentang takdir tersebut? Apakah
bertentangan dengan ayat Al Qur’an?
Adapun untuk
memahami suatu hadits maka dibutuhkan sebuah penjelasan yang nantinya akan lebih memudahkan umat Islam
untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu bagaimanakah
pemahaman-pemahaman mengenai takdir tersebut? Dalam makalah ini, penulis
mencoba memaparkan sedikit mengenai pertanyaan-pertanyaan diatas.
A.
Hadits Mengenai Taqdir Allah
1.
صحيح البخا ر، با ب في القد ر، الجز ء: ٢٢، الصفحة: ٣
6595
- حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ
حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم
- قَالَ « وَكَّلَ اللَّهُ بِالرَّحِمِ مَلَكًا فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ ،
أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ ، أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِىَ خَلْقَهَا
قَالَ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى أَشَقِىٌّ أَمْ سَعِيدٌ فَمَا الرِّزْقُ
فَمَا الأَجَلُ فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ » . تحفة 1080
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan
kepada kami Hammad dari Ubaidillah bin Abu Bakar bin Anas dari Anas bin Malik ra. dari Nabi saw. beliau
bersabda: “Allah menugaskan seorang malaikat untuk menangani rahim lalu dia
berkata, ‘Wahai Tuhanku, setetes mani’. ‘Wahai Tuhanku, segumpal darah’. ‘Wahai
Tuhanku, segumpal daging’. Kemudian tatkala Allah hendak menyempurnakan
penciptaannya, malaikat itu berkata, ‘Wahai Tuhanku, laki-laki atau perempuan?
Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezkinya? Kapan ajalnya?’ Maka ditetapkan
semua itu ketika berada di dalam perut ibunya.” [1]
a.
Kualitas
Sanad[2]
1.
Anas
bin Malik
Sahabat
2.
Ubaidillah
bin Abi Bakar bin Anas bin Malik
Abu
Daud : tsiqoh
Abu
Hatim : shahih
Ibnu
Hibban : ‘ats tsiqat
Yahya
bin Ma’in : tsiqah
3.
Hammad
bin Zaid bin dirham
Ahmad bin Hambal :
imam kaum Muslimin
Ibnu Hajar Al Asqalani : tsiqat
tsabat faqih
Ibnu
Hibban : ‘ats tsiqah
4.
Sulaiman
bin Harb bin Bujail
Adz
Dzahabi : al imam
An
Nasa’I : tsiqah
ma’mun
Muhammad
bin Sa’d : tsiqah
Ya’kub Ibnu Syaibah :
tsiqat tsabat
b.
Takhrij[3]
صحيح مسلم، با ب كيفية ا لخلق الادمى فى، الجزء: ١٧، الصفحة: ١٥٦
6900 - حَدَّثَنِى أَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ الْجَحْدَرِىُّ
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَرَفَعَ الْحَدِيثَ أَنَّهُ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ قَدْ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكًا فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ
أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ. فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِىَ خَلْقًا - قَالَ
- قَالَ الْمَلَكُ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى شَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَمَا
الرِّزْقُ فَمَا الأَجَلُ فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ ».
مسند احمد، ٣١مسند
أنس ين ما لك، الجزء: ٢٦، الصفحة: ١٩
12486- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
أَبِى بَكْرٍ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكاً قَالَ أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ
أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ فَإِذَا قَضَى الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ خَلْقَهَا قَالَ
أَىْ رَبِّ أَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ ذَكَراً أَوْ أُنْثَى فَمَا الرِّزْقُ وَمَا
الأَجَلُ قَالَ
فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ ». {3/117} تحفة 1080
معتلى 724
مسند احمد،٣١ مسند
أنس ين ما لك، الجزء: ٢٦، الصفحة: ٣٦٨
12835- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يُونُسُ
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ - يَعْنِى ابْنَ زَيْدٍ - أَنْبَأَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ
أَبِى بَكْرٍ عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَرْفَعُ الْحَدِيثَ قَالَ « إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكاً فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ
نُطْفَةٌ أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَقْضِىَ
خَلْقَهَا قَالَ يَقُولُ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى شَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ
فَمَا الرِّزْقُ فَمَا الأَجَلُ قَالَ فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ ».
تحفة 1080 معتلى 724
2.
Sunan
Tirmidzi no. 2070, Kitab Qadar, Bab Beriman Kepada Takdir yang Baik dan yang
Buruk
حَدَّ ثَناَأبُوالخَطَابِ
زِيَادُبْنُ يَحْيَ الْبَصْرِىُّ،أخْبَرَناَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَيْمُوْنٍ عَنْ جَعْفَرِ
بْنِ مُحَمَّدِ عَنْ أَبِيْهَ عًنْ جَا بِرٍ بْنِ عَبدْ اللهِ قَالَ قاَلَ رَسُولُ
اللِه صَلَّى اللهُ عَلًيْهِ وَسَلًم : لَا يُؤْمِنُ عَبْدُحَتَّى يُؤْمِنُ بِالْقَدَرِخَيْرِهِ
وَشَرِّهِ، لِيُصِيْبَهُ وَفِى الْبَابِ عَنْ عُبَاَدةَوَجًا بِرٍوَعَبْدُاللهِ بْنِ
عَمْرِ وَهٰذَا حَدِيْث غَرِيْب مِنْ حَدِ يْثِ جَابِرٍلَانًعْرِفُهٌ اِلَّامِنْ حَدِيْثِ
عَبْدِ اللهٍ ابْنِ مَيْمُون وَعَبْدُاللهِ بْنِ مَيْمُون مُنْكَرُالحَدِيْثِ.
Abul Khatab Ziyad bin Yahya Al Basri menceritakan kepada kami,
Abdullah bin Maimun memberitahukan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari
ayahnya dari Jabir bin Abdillah berkata: “Rasulullah saw. bersabda: seseorang
tidak beriman dengan sempurna sehingga beriman kepada qadha baik maupun buruk
sehingga dia meyakini bahwa yang pasti menimpanya tidak akan meleset menimpanya
dan bahwa apa yang meleset menimpanya tidak akan menimpanya.[4]
a.
Kualitas
Sanad[5]
1.
Jabir
bin ‘Abdullah bin ‘Amru bin Haram
Sahabat
2.
Muhammad
bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
Al ‘Ajili : tsiqah
Ibnu Hajar Al
Atsqalani : tsiqah
3.
Ja’far
bin Muhammad bin Ali bin Husain
Ibnu Hatim Ar
Razi : tsiqah
An Nasa’I : tsiqah
Ibnu Hajar Al
Atsqalani : Imam
Yahya bin Ma’in
: tsiqah
4.
Abdullah
bin Maymun bin Daud
Abu hatim : mungkarul hadits
Ibnu Hajar : mungkaru haidits
Abu Zur’ah :
wahin
An Nasa’I :
dhaif
5.
Ziyad
bin Yahya bin Ziyad bin Hasan
Abu Hatim : tsiqah
Ibnu Hajar Al atsqalani : tsiqah
Adz Dzahabi : al hafidz
Ibnu Hibban : disebutkan dalam ‘ats tsiqat
b.
Takhrij[6]
Musnad Ahmad no. 6416, Kitab Musnad Sahabat yang Banyak
Meriwayatkan Hadits, Bab Musnad Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra.
حَدَّثَنَاأَنَسُ
بْنُ عِيَاضٍ حَدَّثَنَاأَبُوحازِم عَنْ عَمْرِوَبْنِ شُعَيْبَ عَنْ أَبِيْه عَنْ جَدَّهِ
أنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلًيْهِ وَسَلًم قَالَ لايُؤْمِنُ الْمَرْءُحَتَّى
يُؤْمِنو بِالْقَدَرِخَيْرِهِ وَشَرِّهِ قاَلَ أَبُوحَازِم لَعَنَ اللهُ دِيْنَا أَنَا
أَكْبَرُمِنطهُ يَعْنِى التَّكْذِيْبَ بِالْقَدَرِ
Musnad Ahmad no. 6690, Kitab Musnad Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits, Bab Musnad Abdullah
bin Amru bin ‘Ash ra.
حَدَّثَنَاأَبُونُعَيْم
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ أبِيْ حَازِمٍ عَنْ عَمْرِبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَبْدِاللهِ
بْنِ عَمْروَعَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلًيْهِ وَسَلًم قَالَ لاَ يُؤْمِنُ عَبْد
حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِخَيْرِهِ وَشَرَّهِ
B.
Syarah Hadits
Allah menugaskan seorang malaikat untuk menangani
rahim ( وَكَّلَ
اللَّهُ بِالرَّحِمِ ). Al Karmani berkata, “Jika benar bahwa yang dimaksud dengan
malaikat ini adalah malaikat yang ditugasi menangani rahim, lalu bagaimana
pengutusannya?” Dia menjawab bahwa maksudnya adalah malaikat yang ditugaskan
mencatat kalimat-kalimat (ketetapan-ketetapan) bukanlah malaikat yang
ditugaskan menangani rahim yang mengatakan, أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ (Wahai Tuhanku, setetes mani) dan
seterusnya. Kemungkinan yang dimaksud dengan pengutusan itu adalah perintah
untuk itu.[7]
Ada perbedaan
pendapat mengenai anggota tubuh janin yang pertama kali terbetuk. Suatu
pendapat menyebutkan bahwa yang pertama kali terbentuk adalah jantung, karena
merupakan unsure utamanya yaitu sumber gerakan instink. Ada juga yang
mengatakan otak, karena merupakan sumber naluri dan dari sanalah bermulanya
perintah untuk semua anggota tubuh. Ada juga yang mengatakan hati, karena
pertumbuhannya dari situ yang berasal dari asupan makanan yang merupakan
penopang tubuh. Sebagian orang menguatkan pendapat ini karena hati merupakan
pokok system psikis yang pertama kali dibutuhkan adalah pertumbuhan dan saat
itu masih belum memerlukan naluri dan tidak pula gerakan instink. Sedangkan
kebutuhannya terhadap naluri dan instink setelah adanya nyawa sehingga yang
lebih dulu ada adalah hati kemudian jantung lalu otak.[8]
Kemudian tatkala
Allah hendak menyempurnakan penciptaannya, malaikat itu berkata, ‘Wahai
Tuhanku, laki-laki atau perempuan? (فَإِذَا
أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِىَ خَلْقَهَا قَالَ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَمْ أُنْثَ
). Bila mani telah masuk ke
dalam rahim, mani itu menyebar ke dalam jasad (si perempuan) selama 40 hari
kemudian menjadi segumpal darah dalam 40 hari lalu menjadi segumpal daging
dalam 40 hari. Apabila Allah berkehendak menjadikannya (makhluk) maka Allah
mengutus seorang malaikat lalu malaikat itu membentuknya sebagaimana yang
diperintahkan-Nya.[9]
Laki-laki atau
perempuan ( ذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى ),
pembentukan semua anggota tubuh termasuk jenis kelamin terjadi pada waktu yang
disepakati dan itu sebagaimana dapat disaksikan pada janin binatang yaitu pada
waktu bentuknya mulai sempurna. Kemudian malaikat itu mempunyai tugas
pembentukan lainnya, yaitu saat ditiupkan ruh ketika genap empat bulan
sebagaimana yang disepakati oleh para ulama bahwa peniupan ruh hanya terjadi
setelah empat bulan.[10]
Sengsara atau
bahagia ( أَشَقِىٌّ أَمْ سَعِيدٌ ) ,kedua kata
tersebut dibaca rafa’ karena berfungsi sebagai khabar mubtada’ mahdzuf
(predikat yang tidak disebutkan). Al Khuni menakwilkan bahwa malaikat itu
diperintahkan mencatat empat hal lalu ia hanya menuliskan tiga hal. Maksudnya,
malaikat mencatat ketetapan setiap orang apakah itu kebahagian atau
kesengsaraan, jadi tidak menulis keduanya untuk satu orang, walaupun keduanya
ada pada satu orang tapi yang dihukumi adalah yang terbanyak. Jika seimbang
maka yang dihukumi adalah yang menjadi penutupnya, karena itu disebutkan
“empat”, sebab bila tidak demikian tentu beliau mengatakan “lima”. Artinya,
menuliskan rezekinya sedikit atau banyak, sifatnya haram atau halal. Kemudian
ajalnya, berumur penjang atau pendek. Lalu amalnya, baik ataukah buruk.[11]
Kemudian mengenai
iman kepada qadha yang baik ataupun buruk, karena tidak ada sifat dan nama
Allah yang mengandung keburukan dan semua nama-Nya adalah baik maka semua
perbuatan-Nya adalah baik. Jadi mustahil jika Allah menghendaki keburukan dan
kejahatan, karena keburukan dan kejahatan bukan merupakan kehendak dan
perbuatan-Nya.[12]
Hakikat takdir
Illahi adalah kebaikan meskipun lahirnya buruk. Terkadang, banyak perbuatan
Yang Maha Bijaksana yang intinya merupakan kebaikan, secara lahiriah menurut
manusia adalah keburukan. Hal tersebut disebabkan karena keterbatasan pemikiran
manusia melalui akalnya, yang sangat dipengaruhi oleh hal-hal lahiriah. Pada
intinya, keburukan makhluk ialah ketika bertindak menyalahi perintah Allah dan
melanggar batas-batas serta wasiat-Nya. Dengan demikian, perbuatan Allah adalah
kebaikan mutlak sekalipun menurut pandangan manusia (secara lahiriah melalui
pancaindranya) tampak sebagai hal yang buruk.[13]
Adapun beberapa pendapat
mengenai posisi amalan manusia terhadap qadha dan qadar dapat terbagi menjadi
tiga diantaranya; yang pertama dari kelompok jabariyah bahwa manusia tidak
memiliki kehendak, tidak memiliki kebebasan memilih serta tidak memiliki
kemampuan menaati apa yang diperintahkan kepadanya. Karena kehendak manusia –
yang diarahkan oleh qadha dan qadar – merupakan hasil pemaksaan, tanpa sedikit
pun disertai kebebasan memilih. Kedua, bahwa manusia dianugerahi kekuasaan
mengatur kehendaknya secara mutlak yang merupakan pemahaman dari kaum
mu’tazilah atau qadariyah. Sedangkan pemahaman ketiga dari kelompok Asy ‘ariyah
atau ahlus-sunnah wal jama’ah bahwa manusia merupakan makhluk yang diberi akal,
kehendak bebas, serta kemampuan melaksanakan (hal atau perbuatan) dalam
batas-batas tertentu akan tetapi perbuatan manusia tersebut pada hakikatnya
bukan perbuatan yang berpengaruh secara hakiki.[14]
C.
Munasabah Dengan Ayat Al
Qur’an
Surat As-Sajdah
ayat 13
öqs9ur $oYø¤Ï© $oY÷s?Uy ¨@ä. C§øÿtR $yg1yèd ô`Å3»s9ur ¨,ym ãAöqs)ø9$# ÓÍh_ÏB ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ ÆÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur úüÏèuHødr& ÇÊÌÈ
Dan
kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan akan berikan kepada tiap-tiap jiwa
petunjuk (bagi)-nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan)
daripada-Ku: "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin
dan manusia bersama-sama.”
Makna dari firman Allah tersebut,
dapat diuraikan bahwa, kalau saja Allah berkehendak menjadikan setiap jiwa
terpaksa pada fitrah meniti jalan petunjuk, maka Allah akan mencabut
pemberian-Nya berupa kebebasan berikhtiar, kemampuan berbuat atau kemampuan berekspresi
sehingga manusia menjadi sebuah jiwa dengan fitrah keterpaksaan dan tidak
mempunyai ikhtiar. Kemudian jika Allah menjadikannya demikian maka merupakan
tujuan hikmah Allah untuk memberikan petunjuk kepaada setiap jiwa yang Allah
ciptakan. Namun, telah Allah tetapkan bahwa hikmah Allah adalah menganugerahkan
kepada setiap jiwa yang Allah ciptakan kebebasan berikhtiar dan kemampuan
berekspresi sesuai dengan ruang lingkup taklif. Maka Allah tetapkan ancaman
bagi para pembangkang yaitu mengisi neraka jahanam dan memenuhinya dengan
golongan jin dan manusia.[15]
D.
Kesimpulan
Allah menganugerahkan manusia
kemampuan untuk memilih jalannya, baik ataupun buruk. Pada hakikatnya, takdir
Illahi itu adalah baik akan tetapi secara lahiriah bagi pandangan manusia bisa dianggap
sebagai suatu keburukan. Karena keterbatasan akal manusia yang dipengaruhi oleh
hal-hal lahiriah. Segala sesuatu yang terjadi pada manusia mengandung hikmah
yang baru bisa diketahui manusia manakala hal tersebut sudah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Al Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari 32: Shahih Bukhari
terj. Amir Hamzah. Jakarta: Pustaka
Azzam. 2009.
Al Jauziyah, Ibnu Qayyim. Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah
Takdir terj. Abdul Ghaffar. Jakarta:
Pustaka Azzam. 2007.
At Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah. Sunan At Tirmidzi Juz 3
terj. Moh. Zuhri. Semarang: CV.
Asy-Syifa, 1992.
Habanakah, Abdurrahman Hasan. Pokok-Pokok Aqidah Islam terj.
A.M. Basalamah. Jakarta: Gema
Insani Press. 1998.
CD Maktabah Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar