Jumat, 13 Januari 2012

Taqdir Dalam Hadits Nabi


          Seperti yang sudah diketahui oleh semua umat Islam bahwa Islam mempunyai pokok-pokok aqidah yaitu iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, hari akhir dan iman kepada qadha dan qadar. Atau biasa disebut dengan rukun iman. Istilah rukun iman sendiri merupakan pemberian oleh para ulama. Hal-hal tersebut merupakan bagian dari aqidah Islam yang sangat urgen terlebih karena aqidah merupakan sebuah fondasi agama. Sehingga sudah pasti dapat ditemukan beberapa hadits yang membahas mengenai rukun Islam tersebut. Akan tetapi dalam makalah ini hanya membahas salah satu rukun Iman tersebut yaitu dengan mencoba untuk memaparkan sedikit mengenai qadha dan qadar. Seperti apakah hadits yang membahas mengenai takdir tersebut?
            Setelah mengetahui hadits yang membahas mengenai takdir tersebut maka selanjutnya sangat dibutuhkan kejelasan mengenai kualitas hadits tersebut. Karena suatu hadits dapat dijadikan hujjah jika hadits tersebut memiliki kualitas yang tinggi. Lalu bagaimanakah kualitas hadits yang membahas tentang takdir tersebut? Apakah bertentangan dengan ayat Al Qur’an?
            Adapun untuk memahami suatu hadits maka dibutuhkan sebuah penjelasan yang  nantinya akan lebih memudahkan umat Islam untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu bagaimanakah pemahaman-pemahaman mengenai takdir tersebut? Dalam makalah ini, penulis mencoba memaparkan sedikit mengenai pertanyaan-pertanyaan diatas.

A.     Hadits Mengenai Taqdir Allah
1.      صحيح البخا ر، با ب في القد ر، الجز ء: ٢٢، الصفحة: ٣
6595 - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « وَكَّلَ اللَّهُ بِالرَّحِمِ مَلَكًا فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ ، أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ ، أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ . فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِىَ خَلْقَهَا قَالَ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى أَشَقِىٌّ أَمْ سَعِيدٌ فَمَا الرِّزْقُ فَمَا الأَجَلُ فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ » . تحفة 1080
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Hammad dari Ubaidillah bin Abu Bakar bin Anas  dari Anas bin Malik ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Allah menugaskan seorang malaikat untuk menangani rahim lalu dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, setetes mani’. ‘Wahai Tuhanku, segumpal darah’. ‘Wahai Tuhanku, segumpal daging’. Kemudian tatkala Allah hendak menyempurnakan penciptaannya, malaikat itu berkata, ‘Wahai Tuhanku, laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Bagaimana rezkinya? Kapan ajalnya?’ Maka ditetapkan semua itu ketika berada di dalam perut ibunya.” [1]
a.       Kualitas Sanad[2]
1.      Anas bin Malik
Sahabat
2.      Ubaidillah bin Abi Bakar bin Anas bin Malik
Abu Daud                      : tsiqoh
Abu Hatim                     : shahih
Ibnu Hibban                   : ‘ats tsiqat
Yahya bin Ma’in            : tsiqah
3.      Hammad bin Zaid bin dirham
Ahmad bin Hambal           : imam kaum Muslimin
Ibnu Hajar Al Asqalani   : tsiqat tsabat faqih
Ibnu Hibban                    : ‘ats tsiqah
4.      Sulaiman bin Harb bin Bujail
Adz Dzahabi                   : al imam
An Nasa’I                       : tsiqah ma’mun
Muhammad bin Sa’d      : tsiqah
Ya’kub Ibnu Syaibah      : tsiqat tsabat

b.      Takhrij[3]

صحيح مسلم، با ب كيفية ا لخلق الادمى فى، الجزء: ١٧، الصفحة: ١٥٦
6900 - حَدَّثَنِى أَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ الْجَحْدَرِىُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَرَفَعَ الْحَدِيثَ أَنَّهُ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكًا فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ. فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِىَ خَلْقًا - قَالَ - قَالَ الْمَلَكُ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى شَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَمَا الرِّزْقُ فَمَا الأَجَلُ فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ ».

مسند احمد، ٣١مسند أنس ين ما لك، الجزء: ٢٦، الصفحة: ١٩
12486- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكاً قَالَ أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ فَإِذَا قَضَى الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ خَلْقَهَا قَالَ أَىْ رَبِّ أَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ ذَكَراً أَوْ أُنْثَى فَمَا الرِّزْقُ وَمَا الأَجَلُ قَالَ 
فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ ». {3/117} تحفة 1080 معتلى 724
مسند احمد،٣١ مسند أنس ين ما لك، الجزء: ٢٦، الصفحة: ٣٦٨
12835- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ - يَعْنِى ابْنَ زَيْدٍ - أَنْبَأَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى بَكْرٍ عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَرْفَعُ الْحَدِيثَ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكاً فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ أَىْ رَبِّ عَلَقَةٌ أَىْ رَبِّ مُضْغَةٌ فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَقْضِىَ خَلْقَهَا قَالَ يَقُولُ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَوْ أُنْثَى شَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَمَا الرِّزْقُ فَمَا الأَجَلُ قَالَ فَيُكْتَبُ كَذَلِكَ فِى بَطْنِ أُمِّهِ ». تحفة 1080 معتلى 724

2.      Sunan Tirmidzi no. 2070, Kitab Qadar, Bab Beriman Kepada Takdir yang Baik dan yang Buruk
حَدَّ ثَناَأبُوالخَطَابِ زِيَادُبْنُ يَحْيَ الْبَصْرِىُّ،أخْبَرَناَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَيْمُوْنٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدِ عَنْ أَبِيْهَ عًنْ جَا بِرٍ بْنِ عَبدْ اللهِ قَالَ قاَلَ رَسُولُ اللِه صَلَّى اللهُ عَلًيْهِ وَسَلًم : لَا يُؤْمِنُ عَبْدُحَتَّى يُؤْمِنُ بِالْقَدَرِخَيْرِهِ وَشَرِّهِ، لِيُصِيْبَهُ وَفِى الْبَابِ عَنْ عُبَاَدةَوَجًا بِرٍوَعَبْدُاللهِ بْنِ عَمْرِ وَهٰذَا حَدِيْث غَرِيْب مِنْ حَدِ يْثِ جَابِرٍلَانًعْرِفُهٌ اِلَّامِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اللهٍ ابْنِ مَيْمُون وَعَبْدُاللهِ بْنِ مَيْمُون مُنْكَرُالحَدِيْثِ.
Abul Khatab Ziyad bin Yahya Al Basri menceritakan kepada kami, Abdullah bin Maimun memberitahukan kepada kami dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdillah berkata: “Rasulullah saw. bersabda: seseorang tidak beriman dengan sempurna sehingga beriman kepada qadha baik maupun buruk sehingga dia meyakini bahwa yang pasti menimpanya tidak akan meleset menimpanya dan bahwa apa yang meleset menimpanya tidak akan menimpanya.[4]
a.       Kualitas Sanad[5]
1.      Jabir bin ‘Abdullah bin ‘Amru bin Haram
Sahabat
2.      Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
Al ‘Ajili                            : tsiqah
Ibnu Hajar Al Atsqalani  : tsiqah
3.      Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain
Ibnu Hatim Ar Razi            : tsiqah
An Nasa’I                         : tsiqah
Ibnu Hajar Al Atsqalani   : Imam
Yahya bin Ma’in                 : tsiqah
4.      Abdullah bin Maymun bin Daud
Abu hatim                           : mungkarul hadits
Ibnu Hajar                          : mungkaru haidits
Abu Zur’ah                         : wahin
An Nasa’I                          : dhaif
5.      Ziyad bin Yahya bin Ziyad bin Hasan
Abu Hatim                        : tsiqah
Ibnu Hajar Al atsqalani   : tsiqah
Adz Dzahabi                     : al hafidz
Ibnu Hibban                     : disebutkan dalam ‘ats tsiqat

b.      Takhrij[6]
Musnad Ahmad no. 6416, Kitab Musnad Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits, Bab Musnad Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra.
حَدَّثَنَاأَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ حَدَّثَنَاأَبُوحازِم عَنْ عَمْرِوَبْنِ شُعَيْبَ عَنْ أَبِيْه عَنْ جَدَّهِ أنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلًيْهِ وَسَلًم قَالَ لايُؤْمِنُ الْمَرْءُحَتَّى يُؤْمِنو بِالْقَدَرِخَيْرِهِ وَشَرِّهِ قاَلَ أَبُوحَازِم لَعَنَ اللهُ دِيْنَا أَنَا أَكْبَرُمِنطهُ يَعْنِى التَّكْذِيْبَ بِالْقَدَرِ
Musnad Ahmad no. 6690, Kitab Musnad Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits, Bab Musnad Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra.
حَدَّثَنَاأَبُونُعَيْم حَدَّثَنَا سُفْيَانُ أبِيْ حَازِمٍ عَنْ عَمْرِبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْروَعَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلًيْهِ وَسَلًم قَالَ لاَ يُؤْمِنُ عَبْد حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِخَيْرِهِ وَشَرَّهِ

B.     Syarah Hadits
            Allah menugaskan seorang malaikat untuk menangani rahim ( وَكَّلَ اللَّهُ بِالرَّحِمِ ). Al Karmani berkata, “Jika benar bahwa yang dimaksud dengan malaikat ini adalah malaikat yang ditugasi menangani rahim, lalu bagaimana pengutusannya?” Dia menjawab bahwa maksudnya adalah malaikat yang ditugaskan mencatat kalimat-kalimat (ketetapan-ketetapan) bukanlah malaikat yang ditugaskan menangani rahim yang mengatakan, أَىْ رَبِّ نُطْفَةٌ (Wahai Tuhanku, setetes mani) dan seterusnya. Kemungkinan yang dimaksud dengan pengutusan itu adalah perintah untuk itu.[7]
            Ada perbedaan pendapat mengenai anggota tubuh janin yang pertama kali terbetuk. Suatu pendapat menyebutkan bahwa yang pertama kali terbentuk adalah jantung, karena merupakan unsure utamanya yaitu sumber gerakan instink. Ada juga yang mengatakan otak, karena merupakan sumber naluri dan dari sanalah bermulanya perintah untuk semua anggota tubuh. Ada juga yang mengatakan hati, karena pertumbuhannya dari situ yang berasal dari asupan makanan yang merupakan penopang tubuh. Sebagian orang menguatkan pendapat ini karena hati merupakan pokok system psikis yang pertama kali dibutuhkan adalah pertumbuhan dan saat itu masih belum memerlukan naluri dan tidak pula gerakan instink. Sedangkan kebutuhannya terhadap naluri dan instink setelah adanya nyawa sehingga yang lebih dulu ada adalah hati kemudian jantung lalu otak.[8]
            Kemudian tatkala Allah hendak menyempurnakan penciptaannya, malaikat itu berkata, ‘Wahai Tuhanku, laki-laki atau perempuan? (فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِىَ خَلْقَهَا قَالَ أَىْ رَبِّ ذَكَرٌ أَمْ أُنْثَ ). Bila mani telah masuk ke dalam rahim, mani itu menyebar ke dalam jasad (si perempuan) selama 40 hari kemudian menjadi segumpal darah dalam 40 hari lalu menjadi segumpal daging dalam 40 hari. Apabila Allah berkehendak menjadikannya (makhluk) maka Allah mengutus seorang malaikat lalu malaikat itu membentuknya sebagaimana yang diperintahkan-Nya.[9]
            Laki-laki atau perempuan ذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى ), pembentukan semua anggota tubuh termasuk jenis kelamin terjadi pada waktu yang disepakati dan itu sebagaimana dapat disaksikan pada janin binatang yaitu pada waktu bentuknya mulai sempurna. Kemudian malaikat itu mempunyai tugas pembentukan lainnya, yaitu saat ditiupkan ruh ketika genap empat bulan sebagaimana yang disepakati oleh para ulama bahwa peniupan ruh hanya terjadi setelah empat bulan.[10]
            Sengsara atau bahagia ( أَشَقِىٌّ أَمْ سَعِيدٌ ) ,kedua kata tersebut dibaca rafa’ karena berfungsi sebagai khabar mubtada’ mahdzuf (predikat yang tidak disebutkan). Al Khuni menakwilkan bahwa malaikat itu diperintahkan mencatat empat hal lalu ia hanya menuliskan tiga hal. Maksudnya, malaikat mencatat ketetapan setiap orang apakah itu kebahagian atau kesengsaraan, jadi tidak menulis keduanya untuk satu orang, walaupun keduanya ada pada satu orang tapi yang dihukumi adalah yang terbanyak. Jika seimbang maka yang dihukumi adalah yang menjadi penutupnya, karena itu disebutkan “empat”, sebab bila tidak demikian tentu beliau mengatakan “lima”. Artinya, menuliskan rezekinya sedikit atau banyak, sifatnya haram atau halal. Kemudian ajalnya, berumur penjang atau pendek. Lalu amalnya, baik ataukah buruk.[11]
            Kemudian mengenai iman kepada qadha yang baik ataupun buruk, karena tidak ada sifat dan nama Allah yang mengandung keburukan dan semua nama-Nya adalah baik maka semua perbuatan-Nya adalah baik. Jadi mustahil jika Allah menghendaki keburukan dan kejahatan, karena keburukan dan kejahatan bukan merupakan kehendak dan perbuatan-Nya.[12]
            Hakikat takdir Illahi adalah kebaikan meskipun lahirnya buruk. Terkadang, banyak perbuatan Yang Maha Bijaksana yang intinya merupakan kebaikan, secara lahiriah menurut manusia adalah keburukan. Hal tersebut disebabkan karena keterbatasan pemikiran manusia melalui akalnya, yang sangat dipengaruhi oleh hal-hal lahiriah. Pada intinya, keburukan makhluk ialah ketika bertindak menyalahi perintah Allah dan melanggar batas-batas serta wasiat-Nya. Dengan demikian, perbuatan Allah adalah kebaikan mutlak sekalipun menurut pandangan manusia (secara lahiriah melalui pancaindranya) tampak sebagai hal yang buruk.[13]
            Adapun beberapa pendapat mengenai posisi amalan manusia terhadap qadha dan qadar dapat terbagi menjadi tiga diantaranya; yang pertama dari kelompok jabariyah bahwa manusia tidak memiliki kehendak, tidak memiliki kebebasan memilih serta tidak memiliki kemampuan menaati apa yang diperintahkan kepadanya. Karena kehendak manusia – yang diarahkan oleh qadha dan qadar – merupakan hasil pemaksaan, tanpa sedikit pun disertai kebebasan memilih. Kedua, bahwa manusia dianugerahi kekuasaan mengatur kehendaknya secara mutlak yang merupakan pemahaman dari kaum mu’tazilah atau qadariyah. Sedangkan pemahaman ketiga dari kelompok Asy ‘ariyah atau ahlus-sunnah wal jama’ah bahwa manusia merupakan makhluk yang diberi akal, kehendak bebas, serta kemampuan melaksanakan (hal atau perbuatan) dalam batas-batas tertentu akan tetapi perbuatan manusia tersebut pada hakikatnya bukan perbuatan yang berpengaruh secara hakiki.[14]
C.      Munasabah Dengan Ayat Al Qur’an
Surat As-Sajdah ayat 13
öqs9ur $oYø¤Ï© $oY÷s?Uy ¨@ä. C§øÿtR $yg1yèd ô`Å3»s9ur ¨,ym ãAöqs)ø9$# ÓÍh_ÏB ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ šÆÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur šúüÏèuHødr& ÇÊÌÈ  
Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)-nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) daripada-Ku: "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.”
            Makna dari firman Allah tersebut, dapat diuraikan bahwa, kalau saja Allah berkehendak menjadikan setiap jiwa terpaksa pada fitrah meniti jalan petunjuk, maka Allah akan mencabut pemberian-Nya berupa kebebasan berikhtiar, kemampuan berbuat atau kemampuan berekspresi sehingga manusia menjadi sebuah jiwa dengan fitrah keterpaksaan dan tidak mempunyai ikhtiar. Kemudian jika Allah menjadikannya demikian maka merupakan tujuan hikmah Allah untuk memberikan petunjuk kepaada setiap jiwa yang Allah ciptakan. Namun, telah Allah tetapkan bahwa hikmah Allah adalah menganugerahkan kepada setiap jiwa yang Allah ciptakan kebebasan berikhtiar dan kemampuan berekspresi sesuai dengan ruang lingkup taklif. Maka Allah tetapkan ancaman bagi para pembangkang yaitu mengisi neraka jahanam dan memenuhinya dengan golongan jin dan manusia.[15]

D.    Kesimpulan
            Allah menganugerahkan manusia kemampuan untuk memilih jalannya, baik ataupun buruk. Pada hakikatnya, takdir Illahi itu adalah baik akan tetapi secara lahiriah bagi pandangan manusia bisa dianggap sebagai suatu keburukan. Karena keterbatasan akal manusia yang dipengaruhi oleh hal-hal lahiriah. Segala sesuatu yang terjadi pada manusia mengandung hikmah yang baru bisa diketahui manusia manakala hal tersebut sudah terjadi.  


DAFTAR PUSTAKA
Al Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari 32: Shahih Bukhari terj. Amir Hamzah. Jakarta:           Pustaka Azzam. 2009.
Al Jauziyah, Ibnu Qayyim. Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir terj. Abdul     Ghaffar. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007.
At Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah. Sunan At Tirmidzi Juz 3 terj. Moh. Zuhri. Semarang:    CV. Asy-Syifa, 1992.
Habanakah, Abdurrahman Hasan. Pokok-Pokok Aqidah Islam terj. A.M. Basalamah. Jakarta:            Gema Insani Press. 1998.
CD Maktabah Syamilah



                [1] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari 32: Shahih Bukhari terj. Amir Hamzah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 3.
                [2] http://www.lidwa.com/app/ diakses tanggal 13 Desember 2011
                [3] CD Maktabah Syamilah
                [4] Muhammad Isa bin Surah At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi Juz 3 terj. Moh. Zuhri (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992, hlm. 642-643.
                [5] http://www.lidwa.com/app/ diakses tanggal 13 Desember 2011
                [6]  http://www.lidwa.com/app/ diakses tanggal 13 Desember 2011
                [7]  Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari 32: Shahih Bukhari terj. Amir Hamzah, hlm. 19.
                [8]  Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari 32: Shahih Bukhari terj. Amir Hamzah, hlm. 20.
                [9] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari 32: Shahih Bukhari terj. Amir Hamzah, hlm. 28.
                [10] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari 32: Shahih Bukhari terj. Amir Hamzah, hlm. 26.
                [11] Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari 32: Shahih Bukhari terj. Amir Hamzah, hlm. 21.
                [12] Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir terj. Abdul Ghaffar (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),  hlm. 629.
                [13] Abdurrahman Hasan Habanakah, Pokok-Pokok Aqidah Islam terj. A.M. Basalamah (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm.
                [14] Abdurrahman Hasan Habanakah, Pokok-Pokok Aqidah Islam terj. A.M. Basalamah  hlm. 627- 628.
                [15] Abdurrahman Hasan Habanakah, Pokok-Pokok Aqidah Islam terj. A.M. Basalamah, hlm. 654- 656.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar