Perempuan
dalam Islam memang tak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Salah satunya
yaitu peran perempuan dalam meriwayatkan suatu hadits Nabi Muhammad saw. Tak
dapat dipungkiri bahwa perempuan memiliki peran yang cukup signifikan dalam
mentransmisi berita mengenai perilaku dan kehidupan Nabi Muhammad yang akan
selalu menjadi teladan bagi seluruh umat Islam. Terutama para istri-istri Nabi
yang lebih sering melakukan interaksi dengan beliau. Akan tetapi dalam perkembangannya,
perempuan tak dapat lagi eksis memainkan peranannya dalam meriwayatkan hadits.
Hal tersebut karena adanya berbagai factor yang menyelimutinya.
Namun
keterbatasan yang dimiliki perempuan tak dapat dijadikan alasan untuk tidak
berpartisipasi dalam ranah public karena walau bagaimanapun peran perempuan
sangat ditunggu dan dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satunya yaitu dalam
meriwayatkan hadits, sejauh manakah peran perempuan dalam menjaga kelangsungan
transmisi hadits dan seperti apakah keterlibatan perempuan dalam meriwayakan
hadits
A.
Sejarah
Perempuan pada Masa Awal Islam di Arab
Kondisi perempuan pra-Islam tidak
mempunyai independensinya sendiri karena kaum perempuan dianggap dari laki-laki
dan untuk laki-laki, serta perlakuan mereka yang tidak “memanusiakan
perempuan”. Kemudian Islam datang memberikan pembebasan dari berbagai macam
penindasan terhadap perempuan. Hal tersebut terlihat dari sikap Nabi Muhammad
yang adaptif-evolutif yaitu dengan membebaskan dan memposisikan perempuan
sebagai manusia yang mempunyai hak hidup serta kewajiban lainnya. Nabi juga
memposisikan perempuan dalam posisi yang lebih terhormat.
Pasca Islam perempuan diberikan
ruang gerak tak hanya melulu mengurusi wilayah domestik saja akan tetapi ada
keterlibatan perempuan dalam beberapa bidang. Sebagai contohnya yaitu peran
serta para perempuan dalam merawat korban peperangan, perias, penyamak kulit,
pedagang dan lainnya.
Hal tersebut merupakan sebuah sikap evolutif Nabi dan progresifitas setelah
terjebaknya perempuan hanya dalam wilayah domestik saja dan tidak adanya pemberdayaan
perempuan untuk mensejahterakan perempuan.
B.
Peran Perempuan
dalam Periwayatan Hadits
Kisah mengenai perempuan
meriwayatkan suatu tindakan atau ucapan Nabi telah muncul bersamaan dengan
dimulainya periwayatan hadits. Syarat-syarat riwayat atau hadits tersebut dapat
diterima diantaranya ialah sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat
yang ‘adil dan dhabit, tidak ada syadz dan ‘illat.
Selain itu para muhaddisin menyatakan bahwa jenis kelamin dan status seseorang
tidak bisa dijadikan dasar diterima atau tidaknya suatu berita atau kesaksian,
pernyataan tersebut juga mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh ahli fiqh
seperti Al Khatib, A Razi dan Al Qadhi
Abu Bakar Al Baqillani. Salah satu argument yang dikemukakan al Khatib yaitu
bahwa Nabi saw. pernah meminta kesaksian Barirah dan beberapa perempuan lain
dalam peristiwa Hadits al Ifki, sebuah kasus yang bercerita tentang isu
perselingkuhan Aisyah. Maka dari syarat yang telah ditetapkan oleh muhadditsin
tersebut tidak ada larangan bahwa perempuan tidak diperbolehkan meriwayatkan
hadits.
Ibnu Shalah dan An Nawawi, mereka
tidak mengaitkan keadilan dengan jenis kelamin melainkan dengan
kualitas-kualitas tertentu, seperti muslim, baligh, berakal, tidak ternoda oleh perbuatan yang tidak terpuji dan hal-hal
yang menjatuhkan muru’ah (keutamaan, kewibawaan, kesopanan).
Az Zahabi dalam kitabnya mengemukakan bahwa ia tidak menemukan satu perempuan
pun yang tertuduh dusta dan ditinggalkan haditsnya. Mengenai perempuan yang
dikategorikan lemah, semata-mata karena tidak ada informasi yang lebih jauh
tentang latar belakang kehidupan mereka.
Dibukanya majlis ta’lim khusus
perempuan yang diisi oleh Nabi sendiri semakin memperluas keterlibatan beberapa
perempuan yang bukan termasuk istri Nabi dalam periwayatan hadits. Dari majlis
tersebut, datang beberapa pertanyaan mengenai agama atau masalah lainnya yang
diajukan kepada Rasulullah yang dibutuhkan penjelasan langsung dari Rasulullah
saw..
Namun, meninggalnya Rasulullah
memberikan pukulan berat bagi umat muslim terutama kaum perempuan karena
kondisi perempuan mengalami penurunan yang drastis sepeninggalan beliau.
Meskipun para istri Nabi dan beberapa sahabat perempuan masih menjadi rujukan
para sahabat atau tabi’in lain untuk mengetahui “berita tentang Nabi” akan
tetapi secara umum keterlibatan perempuan dalam wilayah public semakin memudar.
Terlebih karena adanya pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh para khalifah,
- misalnya pada masa Umar bin Khatab, perempuan tidak lagi diizinkan pergi ke
masjid – dan adanya upaya masyarakat Arab untuk mengembalikan format perempuan
dalam wilayah domestic saja, yang merupakan penyebab utama kemunduran
perempuan.
Sedangkan pada
masa tabi’in, jumlah tabi’in perempuan yang menonjol lebih sedikit dari jumlah
sahabat perempuan yang terlibat dalam periwayatan hadits. Menurut Ibn Sa’d ada
94 tabi’in perempuan sedangkan menurut Ibn hajar ada 140 tabi’in perempuan
adapun menurut Ibnu Hibban ada 90 orang yang terlibat dalam periwayatan hadits
sebagai salah satu peran public.
Adapun
menurut Dr. Luthfi Fathullah MA yang juga menjabat sebagai Ketua Kajian Hadits
Al Mughni menyatakan bahwa jalur periwayatan perawi perempuan kebanyakan berkembang melalui
kerabat atau famili. Caranya, seorang kerabat meriwayatkan dari para perawi
perempuan tersebut, kemudian dia meriwayatkan ke kerabatnya yang lain. Dan model periwayatan perawi perempuan itu cenderung mengerucut atau
piramida terbalik. Dari yang besar, kemudian mengecil. Misalnya, jika ada 100
perawi shahabiyah, maka pada masa tabi’in hanya tinggal 50 orang perawi.
Selanjutnya semakin berkurang, dan ditutup di zaman gurunya Bukhari—meskipun
ketika itu ada seorang perawi perempuan yang juga bernama Aisyah.
Sehingga
menurut beliau beberapa faktor yang menyebabkan periwayatan perempuan tidak bisa
berkembang sebagaimana periwayatan laki-laki. Pertama, faktor keluarga. Kedua, sedikit sulit bagi perempuan untuk melakukan rihlah. “Tradisi hadis adalah rihlah, perempuan tidak melakukan rihlah, karena mengurusi keluarga,”. Kalau pun mereka melakukan rihlah, paling tidak hanya untuk urusan silaturahim atau untuk menunaikan
umrah. Kalau mereka bertemu dengan kerabat yang meriwayatkan hadis, maka mereka
pun ikut meriwayatkannya.
Perempuan pada masa awal Islam ini mengambil
peran yang cukup signifikan dalam keberlangsungan komunitas Muslim dengan
menjaga mata rantai transmisi tentang kehidupan Nabi saw.
Namun sungguh ironi ketika para muhadditsin tidak mempermasalahkan gender dalam
periwayatan hadits, tapi generasi berikutnya justru seolah menghalangi
perempuan dalam meriwayatkan hadits. Karena factor politik dan budaya yang
cenderung memarginalkan perempuan sehingga turut menyumbangkan terjadinya
penurunan jumlah perempuan dalam periwayatan hadits.
Baik dari segi kuantitas maupun
kulitas dalam tradisi periwayatan hadits perempuan tidak hanya pada transmisi
hadits saja akan tetapi juga telah menunjukkan kualitas keagamaan dengan
tingkat integritas, intelektualitas dan kepercayaan yang tinggi.
Para ulama hadits tidak pernah
ragu-ragu untuk mengambil riwayat dari para perawi wanita sebagaimana mereka
mengambil dari perawi laki-laki. Bahkan Al Hafidz bin ‘Asakir pernah mengatakan
bahwa jumlah guru-gurunya dari kaum perempuan lebih dari delapan puluh orang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan juga memainkan peranan yang penting
dalam menyebarkan ilmu agama khususnya hadits.
C.
Keterlibatan
Perempuan dalam Periwayatan Hadits
Perawi hadits Nabi tak hanya dari
istri-istri Nabi saw. saja akan tetapi adapula yang bukan dari istri Nabi saw.,
jumlah hadits yang diriwayatkan pun berbeda-beda. Sahabat perempuan yang
meriwayatkan hadits dan ditulis dalam Al kutub At Tis’ah berjumlah 132 orang.
Periwayat terbanyak adalah Aisyah binti Abu Bakar, kemudian Hindun binti Abi
Umayyah (Ummu Salamah), Asma’ binti Abu Bakar, Zainab binti Abu Salamah,
Maimunah binti al Harits, Hafshah binti Umar, Ramlah binti Abi Sufyan, Ummu
‘Athiyah, Shafiyyah binti Syaibah dan Fahitah binti Abi Thalib.
1.
‘Aisyah mengambil bagian terbanyak
dalam meriwayatkan hadits dari Nabi saw. beliau meriwayatkan 2.220 hadits
sehingga beliau sangat mempengaruhi ‘fiqul
Islam’, kehidupan berpikir, beragama dan berpolitik kaum muslimin.
Dalam Al Kutub At Tis’ah, riwayat hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah
5965 yang tersebar dalam 293 tema (83,6%) selain yang terdapat dalam Musnad
Ahmad, dari 354 tema yang terdapat dalam kitab hadits sumber primer.
2.
Hindun binti Umayyah, hadits yang
disandarkan kepadanya berjumlah 622 hadits dan terbagi dalam 120 bab. Ia
merupakan istri Nabi saw.
3.
Asma binti Abu Bakar yang merupakan
saudari Aisyah dan hadits yang disandarkan kepada Asma berjumlah 209 hadits.
4.
Zainab binti Abu Salamah yang
merupakan anak tiri Nabi saw setelah Nabi menikahi Ummu Salamah. Hadits yang
disandarkan kepadanya berjumlah 177 hadits.
5.
Maemunah binti Al Harits, jumlah
hadits yang disandarkan kepadanya ada 172 hadits.
6.
Hafshah binti ‘Umar ibn Al Khatab,
hadits yang disandarkan kepadanya sebanyak 147 hadits.
7.
Ummu Habibah Ramlah binti Abu
Sufyan, hadits yang disandarkan kepadanya berjumlah 144 hadits.
8.
Ummu ‘Athiyah Nusaibah binti Ka’ab,
hadits yang disandarkan kepadanya sebanyak 119 hadits
9.
Shafiyah binti Syaibah, hadits yang
disandarkan kepadanya berjumlah 106 hadits.
10.
Fahitah binti Abi Thalib (Ummu Hani)
yang merupakan saudara perempuan Ali bin Abi Thalib, ia meriwayatkan 87 hadits
dalam kutub at tis’ah.
D.
Kesimpulan
Dalam meriwayatkan hadits Nabi tidak
ada larangan bagi perempuan untuk meriwayatkan suatu hadits Nabi, asalkan sudah
memenuhi syarat keadilan dan ketsiqahan bagi seorang perawi. Peran perempuan
dalam meriwayatkan hadits Nabi dari masa Nabi hingga sekarang mengalami
penurunan yang drastis karena beberapa factor seperti yang dijelaskan di
atas. Keterlibatan perempuan dalam
meriwayatkan hadits sendiri sangat bermanfaat bagi umat Islam terutama ketika
hendak memutuskan suatu hukum yang berkenaan tentang permpuan yang lebih banyak
diriwayatkan oleh rawi perempuan. Hal tersebut dapat diketahui salah satunya
karena Rasulullah membuka majlis khusus perempuan yang menjadi ladang tanya
jawab untuk menyelesaikan masalah yang melanda kaum perempuan pada saat itu.