Dalam menafsirkan suatu ayat dalam al Qur’an
diperlukan berbagai ilmu yang dapat mendukung atau memudahkan mufasir untuk
menafsirkan suatu ayat. Salah satu ilmu tersebut adalah munasabah. Meskipun
Nabi dan para sahabat tidak membahas tentang munasabah akan tetapi ilmu
tersebut dapat diterapkan saat ini terlebih jika seseorang belum mengetaui
sebab turunnya (asbabun nuzul) suatu ayat maka ilmu munasabah ini tentunya bisa
memudahkan. Akan tetapi tidak semua ayat mempunyai keterkaitan sehingga bila
tidak ditemukan suatu keterkaitan maka hal tersebut tidak bisa dipaksakan
karena itu termasuk mengada-ada.
Ilmu
munasabah disini tidak bisa menggantikan ilmu asbabun nuzul karena suatu ayat
turun berdasarkan suatu peristiwa atau kejadian maka dalam memaknai atau
menafsirkan suatu ayat al Qur’an akan lebih relevan jika seorang mufasir
mengetahui sebab turunnya suatu ayat. Dalam hal ini ilmu munasabah merupakan
salah satu alternative yang bisa dipilih oleh seorang mufasir ketika hendak
menafsirkan suatu ayat. Karena antara ayat yang satu dengan yang lainnya terkadang
merupakan penjelas dari ayat lainnya.
A.
Pengertian Munasabah
Kata munasabah secara
etimologi, menurut As-Suyuti berarti al-musyakalah (keserupaan) dan
al-muqarabah (kedekatan). Sedangkan secara terminologi, ilmu munasabah adalah
ilmu yang persesuaian antara ayat atau surat yang satu dengan surat yang lain.[1] Ilmu
ini menjelaskan antara beberapa ayat atau surat yang memiliki hubungan sebab
akibat, abstrak dan konkrit, umum dan khusus, antara ‘illat dan ma’lulnya,
antara rasional dan irrasional atau bahkan antara dua hal yang kontradiksi.[2]
B. Sejarah
Perkembangan Pengetahuan Munasabah
Berawal dari kenyataan bahwa
sistematika Al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf utsmani yang tidak sesuai dengan
urutan turunnya ayat, melahirkan sebuah ilmu pengetahuan yaitu ilmu munasabah
yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antar ayat atau surat. Ilmu munasabah
sendiri diperkenalkan oleh imam abu bakar An-Naisaburi.
C. Cara
Mengetahui Munasabah
Para
ulama menjelaskan bahwa pengetahuan mengenai munasabah merupakan ijtihadi
karena tidak ditemukan riwayat baik dari Nabi saw. maupun sahabat. Oleh karena
itu tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya karena al
Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian dan
peristiwayang ada pada masa itu. Ketika tidak ditemukan munasabah antar suatu
ayat maka tidak diboleh memaksakan diri.[3]
Menurut
As-Suyuti ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menentukan
munasabah:
1. Harus
diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2. Memerhatikan
uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan
tingkatan uraian-uraian tersebut terdapat hubungan atau tidak.
4. Dalam
mengambil kesimpulan hendaknya memperhatikan ungkapan bahasanya dengan benar
dan tidak berlebihan.[4]
D. Macam-Macam
Munasabah
Berikut adalah beberapa macam
munasabah dalam al-Qur’an:[5]
a. Munasabah
antarsurat dengan surat sebelumnya
Munasabah disini berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan
pada surat sebelumnya. Sebagai contoh dalam surat Al-Fatihah: 1 berkorelasi
dengan surat Al-Baqarah: 152 dan 186.
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
Artinya: “ segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
þÎTrãä.ø$$sù öNä.öä.ør& (#rãà6ô©$#ur Í< wur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ
Artinya: “karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat
(pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku.”
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy ( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
Artinya:
“dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.
Pada
munasabah jenis ini menjelaskan hubungan khusus surat al-Fatihah dengan surat
al-Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan sedangkan hubungan umumnya
lebih berkaitan dengan isi dan kandungan.
b. Munasabah
antarnama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol dan itu tercermin
pada namanya masing-masing. Seperti surat Al-Baqarah, surat Yusuf, surat
An-Naml dan surat Al-Jinn.
øÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù't br& (#qçtr2õs? Zots)t/ ( (#þqä9$s% $tRäÏGs?r& #Yrâèd ( tA$s% èqããr& «!$$Î/ ÷br& tbqä.r& z`ÏB úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÏÐÈ (#qä9$s% äí÷$# $uZs9 y7/u ûÎiüt7ã $uZ©9 $tB }Ïd 4 tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ w ÖÚÍ$sù wur íõ3Î/ 8b#uqtã ú÷üt/ y7Ï9ºs ( (#qè=yèøù$$sù $tB crãtB÷sè? ÇÏÑÈ (#qä9$s% äí÷$# $oYs9 /u ûÎiüt6ã $oY©9 $tB $ygçRöqs9 4 tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ âä!#tøÿ|¹ ÓìÏ%$sù $ygçRöq©9 Ý¡s? úïÌÏ໨Z9$# ÇÏÒÈ (#qä9$s% äí÷$# $uZs9 y7/u ûÎiüt7ã $uZ©9 $tB }Ïd ¨bÎ) ts)t6ø9$# tmt7»t±s? $uZøn=tã !$¯RÎ)ur bÎ) uä!$x© ª!$# tbrßtGôgßJs9 ÇÐÉÈ tA$s% ¼çm¯RÎ) ãAqà)t $pk¨XÎ) ×ots)t/ w ×Aqä9s çÏVè? uÚöF{$# wur Å+ó¡s? y^öptø:$# ×pyJ¯=|¡ãB w spuÏ© $ygÏù 4 (#qä9$s% z`»t«ø9$# |M÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ 4 $ydqçtr2xsù $tBur (#rß%x. cqè=yèøÿt ÇÐÊÈ
Artinya:
“dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata:
"Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?"Musa menjawab:
"Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang jahil". Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk Kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina Apakah
itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu;
Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". Mereka berkata:
"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami
apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa
sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi
menyenangkan orang-orang yang memandangnya." Mereka berkata:
"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk Kami agar Dia menerangkan kepada Kami
bagaimana hakikat sapi betina itu, karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar
bagi Kami dan Sesungguhnya Kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk
memperoleh sapi itu)." Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk
membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada
belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan
hakikat sapi betina yang sebenarnya". kemudian mereka menyembelihnya dan
hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (Q.S. Al-Baqarah: 67-71).
c. Munasabah
antarbagian suatu ayat
Munasabah macam ini adakalanya memakai huruf athof yang biasanya
memakai bentuk berlawanan (mutadhodat), misalnya penggunaan ﻮ dan ﺃﻢ . Sedangkan
yang tidak menggunakan huruf athof sandarannya adalah qorinah ma’nawiyah yang
dapat mengambil bentuk:[6]
a) At-Tanzir,
yaitu membandingkan dua hal yang sebanding.
úïÏ%©!$# cqßJÉ)ã no4qn=¢Á9$# $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_uy yYÏã óOÎgÎn/u ×otÏÿøótBur ×-øÍur ÒOÌ2 ÇÍÈ
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (Q.S. Al-Anfal: 3-4)
b) Al-Mudhodat,
yaitu berlawanan, seperti terlihat dalam surat Al-Hadid: 4
uqèd Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû ÏpGÅ 5Q$r& §NèO 3uqtGó$# n?tã ĸóyêø9$# 4 ÞOn=÷èt $tB ßkÎ=t Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\t z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷èt $pkÏù ( uqèdur óOä3yètB tûøïr& $tB öNçGYä. 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=uK÷ès? ×ÅÁt/ ÇÍÈ
Artinya:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia
bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa
yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepada-Nya . dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan.”
Antara
kata “yaliji” (masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dengan kata
“ya’ruju” (naik) terdapat korelasi perlawanan.
c) Al-Istithad,
yaitu peralihan pada penjelasan lain, missal Q.S. Al-A’raf:26)
ûÓÍ_t6»t tPy#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqã öNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)G9$# y7Ï9ºs ×öyz 4 Ï9ºs ô`ÏB ÏM»t#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbrã©.¤t ÇËÏÈ
Artinya:
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah
yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Ayat
tersebut menjelaskan nikmat Allah SWT., sedang di tengahnya ada kata (3uqø)G9$#â¨$t7Ï9ur) yang
mengalihkan perhatian pada penjelasan ini (pakaian). Dalam hal ini munasabah
terlihat antara menutup aurat dengan kata-kata takwa.
d) At-Takhollus
(peralihan), peralihan disini adalah peralihan terus menerus dan tidak kembali
lagi pada pembicaraan awal.
d. Munasabah
antar ayat yang letaknya berdampingan
Munasabah ini ada yang terlihat jelas dan ada pula yang tidak jelas, yang
terlihat jelas biasanya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas),
itiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan). Sedangkan yang tidak jelaas dapat
dilihat melalui qara’in ma’nawiyah (hubungan makna) yang terlihat dalam empat
pola, yaitu at-tanzir (perbandingan).
e. Munasabah
antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Misalnya alam surat Al-Baqarah ayat
1 sampai ayat 20, Allah SWT. memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan
fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat berikutnya
dibicarakab tiga kelompok mannusia dan sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu
mukmin, kafir dan munafik.
f.
Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Munasabah ini mengandung
tujuan-tujuan tertentu, diantaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang
terkandung dalam suatu ayat dan member penjelasan tambahan.
g. Munasabah
antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Contohny terdapat dalam surat
Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskanperjuangan Nabi Musa dalam berhadapan
dengan kekejaman Fir’aun. Atas perintah dan pertolongan Allah SWT., Nabi
Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat, Allah
SWT. menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad saw. yang mendapat tekanan
dari kaumnya dan janji Allah SWT. atas kemenangannya. Kemudian jika di awal
surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak menolong orang kafir. Munasabahnya
terletak pada sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
h. Munasabah
antar penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Misalnya pada permulaan surat
Al-Hadid dimulai dengan tasbih yang bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya,
yaitu Al-Waqiah. Atau pada akhir surat Al-Fatihah dengan awal surat Al-Baqarah.
E. Urgensi
Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur’an
Beberapa manfaat mempelajari
munasabah antara lain:
1.
Dapat mengembangkan sebagian anggapan orang bahwa tema-tema al
Qur’an kehilangan relevansinya antara satu bagian dengan bagian lainnya.
2.
Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian al Qur’an baik
antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al Qur’an dan memperkuat keyakinan
terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.
Mengetahui mutu dan tingkat ke-balagha-an bahasa al Qur’an dan
konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya serta persesuaian ayat
atau surat yang satu dengan yang lain.
4.
Membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an setelah diketahui
hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.[7]
5.
Berperan menggantikan ilmu asbabun nuzul apabila tidak mengetahui
sebab turunnya suatu ayat tetapi mengetahui korelasi ayat dengan ayat yang
lain.[8]
6.
Dari sisi balaghah, korelasi ayat dengan ayat menjadikan keutuhan
yang indah dalam tata bahasa al Qur’an sehingga apabila dipenggal maka
keserasian, kehalusan dan keindahan ayat akan hilang.[9]
F. Penutup
Meskipun
ilmu munasabah merupakan hasil ijtihadi dan bukan berasal dari Rasulullah
secara langsung melalui haditsnya tetapi perlu sekiranya kita tetap menggunakan
ilmu munasabah dalam memahami makna yang terkandung dalam suatu ayat al Qur’an.
Karena dengan ilmu tersebut tentunya bisa lebih memudahkan untuk memahami ayat
al Qur’an. Selain itu terdapat pula urgensi lain yang telah disebutkan di atas.
[1] Abdul Djalal,
Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), hlm. 154.
[2] Abdul Djalal,
Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), hlm. 154.
[3] Rosihan Anwar,
Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 83..
[4] Rosihan Anwar,
Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 84..
[5] Rosihan Anwar,
Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 84-95.
[6]Abu Anwar,
Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar (Pekanbaru: Amzah, 2009), hlm. 70.
[7] Rosihon Anwar, Ulum Al Qur’an
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 96-97.
[8] Mashfuk
Masduki, Pengantar Ulumul Qur’an (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), hlm. 167.
[9] Muhammad
Chirzin, al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Darma Bakti Prima Yasa,
1998), hlm. 57.